Rabu, 17 Desember 2008

Tertantang untuk Mengasihi

Renungan, I Korintus 13:1-7

Bapak ibu dan saudara yang terkasih di dalam Tuhan Yesus Kristus,
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita yang sangat mengenaskan. Berita tersebut adalah pembunuhan berantai. Berita ini mungkin telah menjadi berita yang basi bagi telinga kita, tetapi banyak orang masih ingin mengetahui dan mencari perkembangan berita ini. Suatu aksi pembunuhan yang dilakukan di daerah Jombang, Jawa Timur. Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang pemuda tampan yang bernama Ryan. Pemuda tersebut awalnya dikenal secara baik di lingkungan masyarakat sekitar. Banyak orang memandang Ryan sebagai orang yang ramah dan sopan, tetapi kita tidak menduga bahwa Ryan telah melakukan pembunuhan yang sadis dan kejam. Banyak orang mengenal dia hanya dari luar saja atau penampilan fisiknya, tetapi semua orang tidak mengetahui hati Ryan secara mendalam. Kisah Ryan ini membuat adanya asumsi yang mengatakan bahwa zaman sekarang orang telah mengalami degradasi cinta yaitu suatu masa ketika orang merasa “kekeringan cinta atau kekeringan akan kasih”, dimana cinta atau kasih menjadi pudar dan lenyap.

Saudara-saudara, banyak orang bertanya dan mempertanyakan “Apa sih yang membedakan orang Kristen dengan orang lainnya?” Banyak orang yang menjawab,”Kasih”. Tetapi, kasih yang bagaimana? Mengapa kasih menjadi sesuatu yang sangat penting? Sejatinya, Kasih adalah suatu perbuatan empati tanpa syarat kepada musuh kita, empati bagi lawan-lawan politik dan empati bagi lawan hati kita, kasih mampu menembus dunia realistis manusia dan kasih mampu menembus sesuatu yang tidak dapat dipikirkan oleh akal budi manusia.
Pertanyaannya adalah apakah kasih masih berlaku di dalam kehidupan yang modern ini?

Seorang Filsuf dan ateis yang bernama Federich Nietzche pernah mengutuk kasih sebagai perusak dan penghancur peradaban manusia. Dia mengatakan bahwa kasih hanya pantas bagi mereka yang berwatak lemah dan bermental budak. Suatu perbuatan yang gampang menyerah dan manja diperlakukan apa saja tanpa melawan, lembek bagaikan bubur, ringkih seperti daun kering di musim gugur. Padahal, kata Nietche, peradaban hanya mampu bertahan oleh hati setegar baja. Peradaban membutuhkan manusia super berotak tajam, berotot kokoh, berhati teguh, berkemauan keras, tak kenal menyerah, pantang mengalah.

Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kasih masih tetap menjadi suatu hal yang utama dalam hidup kita? ataukah kasih itu telah pudar? Atau, jangan-jangan konsep tentang kasih tidak relevan lagi di dalam kehidupan ini? Atau juga jangan-jangan kita diperdaya oleh apa yang dinamakan dengan kasih

I Korintus 13:1-7, berbicara tentang kasih. Kasih menjadi hal utama dalam kehidupan jemaat Korintus pada waktu itu. Mengapa kasih menjadi hal yang utama? Sebelumnya, pada pasal 12 tema yang dibicarakan adalah tentang karunia yang rohani. Allah memberi beberapa penyataan Roh Kudus yang ajaib guna memimpin jemaat pada jalan kebenaran. Salah satunya adalah karunia lidah. Inilah karunia yang diiinginkan oleh jemaat Korintus. Apabila ada seseorang yang bisa berbahasa asing (belum pernah dipelajarinya), maka itulah tanda bahwa ia berada di dalam pimpinan Roh Kudus yang langsung dan semua orang akan menghormatinya. Hal ini membuat jemaat Korintus mengalami kesombongan rohani, suatu perbuatan yang memegahkan diri sendiri dan tidak memperhatikan pihak lain. Mereka berlomba-lomba untuk meningkatkan kerohaniannya tetapi tidak mengindahkan yang lain. Selain itu, mereka berpendapat bahwa karunia roh ini, terutama bahasa roh dan karunia menyembuhkan, membuktikan taraf rohani yang lebih tinggi.

Pemahaman tersebut membuat rasul Paulus dengan tegas menolak dan mengatakan pada pasal 13:1-3, “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan camang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku”.

Dari sinilah, terlihat bahwa kehidupan di dalam Kristus tidak hanya karena pengetahuan, pandai berbahasa lidah, bernubuat ataupun sesuatu yang spektakuler tetapi yang terutama adalah kasih. Tentunya, kasih bisa dilakukan oleh semua orang karena tidak membutuhkan keterampilan khusus.

Teologi Rasul Paulus ini menunjuk bahwa kasih yang benar itu terwujud pada salib Kristus. Mengapa sejatinya kasih terwujud pada salib Kristus? Karena kematian Kristus di kayu salib merupakan suatu pengorbanan yang luar biasa dan pengornan itu menunjukan bahwa Allah menunjukan kasih-Nya yang sejati kepada manussia. Kasih yang terwujud melalui salib Kristus ini membuat adanya visi yang penting di dalam hidup bersama Kristus. Visi tersebut adalah visi Kristiani tentang orang lain. Suatu tujuan atau pandangan jauh ke depan untuk hidup bersama dengan orang lain. Suatu visi yang memampukan orang untuk mengasihi orang-orang yang tidak pantas untuk dicintai. Inilah yang membuat orang Kristen berbeda dengan yang lainnya. Terkadang, di dalam kehidupan kita ada pribadi yang terluka, menjengkelkan, marah, mengenakan berbagai penampakan dari luar saja, yang terkesan tak pantas untuk dicintai. Akan tetapi ada juga pribadi yang terhormat, penuh perhatian dan cinta. Suatu pribadi yang serupa dengan gambar Tuhan. Pribadi yang diundang keluar dengan kebaikan, cinta dan pengertian. Dari sinilah, kasih yang sebenarnya kita lihat merupakan suatu kasih yang mengubah nasib bukan menerima nasib. Kasih yang mampu memberikan suatu penyerahan diri bukannya menyerah. Kasih yang penuh dengan kelemahlembutan tapi tidak lemah. Kasih yang sebaiknya mengorbankan diri sendiri bila perlu demi kepentingan orang lain dan yang terpenting adalah kasih yang aktif dan tidak pasif.

Saudara sekalian, kasih menjadi sesuatu yang utama dalam hidup bersama Kristus. Biasanya orang mengasihi dengan alasan atau tujuan tertentu alias orang mengasihi karena… atau orang mengasihi supaya… Artinya, kasih dituntut untuk balas budi atau kasih dilakukan dengan motivasi tertentu. Tetapi kasih yang sejati adalah tidak melihat suatu alasan atau tujuan tertentu bahkan kasih merupakan suatu sikap dan cara pandang untuk melakukan sesuatu yang jauh dari kehidupan realistis manusia, misalnya mengasihi musuh-musuh atau lawan-lawan hidup kita.

Bapak, ibu , saudara yang dikasihi Tuhan,
Pada saat ini, kita telah bersama-sama berkumpul dan bersatu hati. Kita yang ada di sini, DPP-SDM, Pemasmur beserta Ibu asrama kita yaitu Ibu Debora, juga tidak lupa Ibu Titik yang senantiasa membantu kebutuhan gizi kita. Persaekutuan ini adalah kesempatan yang begitu indah ini, sepatutnya kita mengucapkan syukur kepada Allah Tuhan Yesus Kristus karena atas pemeliharaan-Nya kita dapat hadir di dalam peresmian rumah tempat tinggal bersama. Kita mengetahui dan merasakan bahwa bapak dan ibu DPP-SDM GKI Sinwil Jatim telah rela dan bersedia datang di Yogyakarta dalam peresmian asrama baru bagi pemasmur. Tentunya tidak lain karena adanya kasih. Jika kita melihat lebih dekat lagi, pengorbanan saudara kita Bang Joni yang telah membantu pengelolaan dan terwujudnya asrama baru ini dan kita mengetahui di tengah kesibukannya membuat tesis. Itu semua tidak lain karena kasih. Saudara Defrita dan Yoses yang bersedia juga mengurusi hal-hal administrasi dan teknis asrama baru ini dan menjadi pemimpin di dalam pemasmur dan berusaha membangkitkan pemasmur menjadi lebih baik lagi. Itu semua tidak lain karena kasih. Juga teman-teman yang lain, kak Ganda, Kak Eta, Kak Nunik, Cik Minlan, Kak Astrid, Michael, Lidya, Christina, Erchia dan Risa, tak lupa teman-teman baru kita Kezia,Caroline, virgo dan kak Risang yang telah bersedia hadir dan turut memikirkan konsep dan hal-hal yang bermanfaat di dalam menempati asrama baru ini, tidak lain karena kasih. Tidak lupa juga ibu Debora dan Ibu Titik yang bersedia membantu, membimbing dan mengarahkan anak-anak pemasmur kedepan menjadi lebih baik. Tentu saja, itu semua karena kasih.

Apakah yang kita rasakan bersama ini adalah kasih yang sejati?
Dari sinilah, akankah manusia menghapus apa yang dinamakan dengan “degradasi kasih atau degradasi cinta” yang hampir mewarnai kanvas hidup kita. Dapatkah kita mengatakan secara bijaksana untuk dapat mengatakan dan menyatakan kasih ketika bertemu dengan orang-orang yang menjengkelkan, marah bahkan tak pantas untuk dicintai.
Suatu pertanyaan refleksi bagi kita, Mungkinkah kalau begitu manusia mengasihi? Jawabannya adalah egoisme manusia membuat kasih yang sejati itu menjadi sesuatu yang mustahil. Selamat Mengasihi. Tuhan Memberkati. Amin.

THE FAREWELL OF THEOLOGY

Bacaan : KPR 1:12-14

Saudara-saudara yang terkasih di dalam Yesus,
Sebuah pertanyaan yang mengusik di dalam setiap hati kita adalah “pernahkah anda merasa kehilangan? Ditinggalkan oleh orang yang dikasihi atau dicintai? Pertanyaan ini sering kali ditemui dan digumulkan oleh setiap manusia di dunia ini. Pergumulan merasakan perpisahan yang sangat mendalam dengan orang-orang yang sangat dicintai, bahkan dengan keluarga atau kerabat dekat sekalipun atau dengan hubungan pacaran dengan pasangan lawan jenis yang berujung dengan keterpisahan dan menyisakan luka batin. Bagaimana dengan kita di dalam melihat dan menyikapi sebuah realita hidup yang pasti dan akan terjadi ini?
Beberapa waktu yang lalu, muncul kabar meninggalnya seorang tokoh nasionalis politik dan juga aktor senior yaitu Sophan Sophian. Beliau sangat aktif dalam pergerakan kemerdekaan dan kebangkitan nasional. Kematiannya membuat bangsa Indonsia merasakan pedih yang mendalam. Bahkan sangat menarik perhatian teman-teman asrama saya. Dari peristiwa ini terlihat bahwa konteks perpisahan itu membuat hubungan antar manusia menjadi luka yang sulit terobati dan penuh dengan kekecewaan.
Saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Dalam Kisah para rasul 1 : 12-14, mengisahkan tentang keadaan murid-murid ketika ditinggalkan oleh Yesus ke surga. Dapat dikatakan bahwa Yesus dan murid-muridnya merupakan sebuah “tim kerja” yang sehati dan selalu bersama. Mereka bersama-sama memberitakan injil selama 3 tahun. Hubungan mereka sangat dekat. Hal ini membuat adanya solidaritas terbangun dengan kuat. Kisah cerita di dalam Kisah Para Rasul ini hendak mengajak kita untuk melihat bahwa perpisahan Yesus dengan murid-muridnya justru membuat adanya semangat dan ketekunan yang luar biasa dalam diri setiap murid dan orang-orang yang mengenal Yesus. Diantaranya (ayat 13) adalah Petrus, Yohanes, Yakobus, Andreas, Filipus, Tomas, Bartolomeus, Matius, Yakobus bin Alfeus, Simon orang Zelot dan Yudas bin Yakobus, Ibu Yesus dan juga beberapa perempuan yang mengenal Yesus.
Perpisahan antara murid-murid dengan Yesus membuat mereka menjadi tekun dan penuh dengan kesehatian dalam menjalankan sebuah misi bersama yaitu mengabarkan injil. Mereka tidak berputus asa dan tetap berpengharapan karena di dalam Kis 1 : 8 murid-murid mendapatkan kuasa dan roh kudus turun atas mereka dan mereka mendapat tugas untuk menjadi saksi di seluruh dunia. Roh kudus yang hadir memampukan murid-murid untuk berjuang dan mempunyai spirit yang luar biasa untuk menjalankan misi Kristus. Kekuatan spiritual ini memampukan para murid untuk survive dalam hidup dan berani untuk mengabarkan suka cita ke seluruh dunia. Spiritualitas ini ditandai dalam ayat 14 bahwa murid-murid sehati dan tekun berdoa bersama untuk menghadapi hari dan masa-masa selanjutnya setelah ditinggal Yesus ke surga.
Kisah perpisahan antara Yesus dan murid-murid membuat adanya refleksi yang mendalam mengenai keadaan dan kondisi manusia. Perpisahan tersebut mempunyai poin-poin yang bermakna, diantaranya sebagai berikut :
1. Kekuatan dan semangat
Manusia sering kali terjebak oleh dunia perasaan dan kekecewaan yang mendalam. Kondisi perpisahan dengan orang yang dicintai menjadi kendala dalam realita hidup. Manusia menjadi patah semangat dan tidak berpengharapan dalam menjalani hidup. Hal ini berbeda dengan murid-murid Yesus, mereka mempunyai kekuatan dan semangat yang luar biasa karena Yesus memberi tanggung jawab dan tugas yang disertai oleh kepercayaan Yesus kepada murid-muridnya bahwa Yesus naik ke surga menjadi saksi dan misi yang luar biasa oleh murid-murid Yesus. Kekuatan dan semangat perlu dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani hidup, meskipun badai masalah menimpa dan membuat kekecewaan yang mendalam.
2. Daya juang
Selain dengan adanya kekuatan dan semangat yang sudah terbentuk oleh setiap pribadi manusia. Manusia perlu adanya sebuah sikap yang disertai dengan daya juang. Daya juang yang dimaksud adalah sebuah pengorbanan untuk melayani Kristus dengan segenap hati dan tulus. Murid-murid menjadi berani dan siap di dalam mengabarkan kabar baik. Keberanian tersebut terbukti dengan adanya ketekunan doa secara bersama-sama dalam menjalankan tugas tersebut. Daya juang yang tinggi memampukan manusia untuk mengarungi dan mampu menjalankan hidup dengan penuh optimis dan penyerahan diri.
3. Kesehatian
Hal-hal di atas merupakan sebuah persiapan yang diperlukan bagi setiap individu, tetapi poin ini menuntut kita untuk secara kolektif mempunyai sebuah kebersamaan dan kesehatian yang dilandaskan pada sebuah tujuan bersama. Murid-murid secara bersama-sama berdoa dan menyerahkan rencana hari depan ke dalam doa karena mereka merasa bahwa penyertaan roh kudus memampukan murid-murid mampu menjalani kehidupan dan pelayanan ke depan. Sikap dan perasaan sehati ini menjadi sebuah sikap saling bahu-membahu untuk bersama-sama secara solidaritas mengemban misi yang telah diperintahkan Yesus kepada mereka. Sikap saling memotivasi sangat diperlukan dalam perjuangan melangkah bersama-sama. Oleh karena itu, perpisahan Yesus dan murid-muridNya membuat adanya sebuh nilai yang perlu dipelajari dan dikembangkan oleh setiap hidup manusia dan terutama gereja yang mempunyai visi dan misi ke depan.

Saudara-saudara yang mengasihi dan dikasihi Tuhan Yesus Kristus,
Dari perikop ini, kita perlu meneladani sikap dan perbuatan murid-murid Yesus. Perpisahan tersebut tidak membuat kecewa tetapi justru mereka mempunyai mental penuh semangat, daya juang dan kesehatian. Sikap-sikap tersebut harus ditanamkan dalam setiap pribadi manusia, karena kekecewaan hanya akan mengakibatkan kesia-siaan dalam hidup, tetapi bagaimana kita harus kuat secara pribadi dan bersama-sama sehati saling menguatkan dan tekun di dalam doa. Memang, kehilangan merupakan suatu yang sangat tidak diharapakan tetapi bagaimana pun kita pasti akan mengalaminya. Oleh karena itu, firman Tuhan saat ini mengajak kita untuk bangkit dari kekecewaan karena kehilangan. Seperti motto bangsa Indonesia yaitu Indonesia Bisa! Mengapa kita tidak bisa?
Saudara-saudara yang terkasih,
Di akhir kotbah ini, saya akan menceritakan sebuah pengalaman yang sangat berkesan dan tidak akan pernah terlupakan. Saya pernah ditinggalkan oleh seorang ibu yang sangat baik. Beliau meninggal di tahun 2002 karena penyakit kanker kelenjar getah bening yang membuat tubuh dan kondisi badan lemas selama 1 tahun. Keadaan itu pun akhirnya tidak tertolong karena kondisi penyakit sangat kritis dan tidak bisa disembuhkan. Pada akhirnya tepat pada tanggal 2 Februari 2002 beliau meninggal, saya sempat kecewa dan menangis, tapi saya berpikir bahwa untuk apa menangis dan meratapi itu semua? Toh itu tidak ada gunanya? Saya juga mengatakan kepada adik saya untuk jangan bersedih dan menangis, akhirnya keluarga pun kuat dalam menghadapi realita ini. Setelah itu, saya mendengar gosip-gosip dari tetangga “Kok Andre aneh ya… Ibunya meninggal malah tetap tersenyum”. Justru hal ini membuat saya menjadi semangat dan menunjukan bahwa perpisahan dengan ibu yang dicintai bukanlah segalanya, karena saya mempunyai Yesus yang penuh kuasa dan memberi kekuatan yang sangat luar biasa sampai sekarang ini. Keadaan tersebut membuat orang disekitar tampak heran dengan melihat keluarga saya karena Tuhan memberikan saya kekuatan, daya juang dan kesehatian di dalam keluarga saya. Dari sinilah kita dapat lebih mengerti maksud Tuhan bagi hidup kita. Marilah kita tetap mempunyai kekuatan, daya juang dan kesehatian di antara sesama kita, sehingga terwujudlah The Farewell of Theology. Tuhan memberkati kita. Amin.

DUNIA REMAJA YANG KONTEMPORER

DUNIA REMAJA YANG KONTEMPORER
Suatu Tinjauan Pendidikan Kristiani di Komisi Remaja GKI Gejayan Yogyakrta

I. PENDAHULUAN
Yogyakarta merupakan kota yang unik dan khas di Indonesia. Banyak orang yang berbondong-bondong untuk belajar mengembangkan ilmu di kota gudeg ini, tetapi banyak juga orang yang terjerumus dengan pola pergaulan yang berkembang dalam masyarakat. Ada remaja yang berhasil dan sukses, tetapi juga ada banyak remaja yang gagal karena terpengaruh kehidupan pergaulan di kota ini. Kita melihat dan mengetahui bahwa kota Yogyakarta mempunyai dua sisi budaya yang berbeda. Di satu sisi budaya populer berkembang dengan dahsyat dan hebat, tetapi di sisi yang lain budaya tradisional telah semakin surut dan ditinggalkan.
Kita juga mengetahui bahwa budaya modern yang berkembang di Yogyakarta ini sangat pesat. Banyak mall, restoran dan tempat diskotik berdiri dengan megah, tetapi di sisi lain, budaya tradisional juga mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, seperti adat keraton Jawa dan banyak warisan budaya lokal yang berkembang di Yogyakarta. Remaja pada umumnya atau para kawula muda yang tengah gelisah membangun harapan, menjalin cinta, cita, pengertian, dan identitas dalam sebuah dunia remaja yang sebagian besar sudah diintervensi oleh logika kapitalisme, logika pasar industri hiburan.[1] Apakah ini ini berarti telah terjadi suatu dikotomi (pemisahan) di dalam budaya masyarakat Yogyakarta sendiri? Menurut saya, tidak sepenuhnya seperti itu. Justru kebudayaan lokal itu menjadi filter untuk menghadapi dunia yang kontemporer tersebut, karena kebudayaan modern itu telah masuk dan tidak dapat dibendung, selain itu terkait dengan kapitalisme yang mempengaruhi sistem ekonomi yang besar, di lain pihak gereja juga jangan sampai memberhalakan budaya tradisional dengan begitu hebatnya. Sejatinya, gereja perlu berteologi secara kontekstual terhadap problem yang berkembang, khususnya di masyarakat Yogyakarta ini.
Dunia remaja merupakan masa pertumbuhan yang penting dan vital di dalam perkembangan regenerasi gereja. Remaja berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya tumbuh menjadi dewasa. Penggunaan kata remaja dewasa ini sudah berkembang menjadi bertumbuh dewasa untuk mencapai kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.[2] Bagaimana gereja mempunyai peran untuk ikut serta mewujudkan pembinaan kepada remaja yang holistik ini? Banyak remaja yang terpengaruh oleh kehidupan kontemporer masa kini sehingga pembinaan iman seperti yang berkaitan dengan dunia mereka.
Dari sinilah, penulis menjadikan tinjauan untuk memberikan kaitan antara pendidikan Kristiani yang kreatif dan komprenhensif di dalam pembinaan remaja. Sejatinya, peran serta untuk perkembangan iman dan pencarian jati diri tidak hanya sepenuhnya menjadi tanggung jawab gereja dan keluarga saja, tetapi seluruh aspek kehidupan ikut mempengaruhi di dalamnya. Selain itu, Yogyakarta merupakan kota urban di Indonesia ini. Hal ini mengakibatkan banyak remaja datang untuk mencari ilmu di kota ini. Konteks Yogyakarta tersebut membuat tantangan dan tugas gereja untuk menciptakan pembinaan yang holistik. Apakah gereja mampu mengembangkan pembinaan yang tidak berkesinambungan, artinya pembinaan yang ditujukan kepada jemaat simpatisan? Apakah gereja memikirkan hal ini dan hidup ditengah konteks sosial ini? Selain itu, penulis juga akan memberikan jurnal tentang kegiatan selama berjemaat di komisi remaja GKI Gejayan.

II. ISI
A) Konteks Remaja GKI Gejayan
Banyak hal yang mempengaruhi remaja GKI Gejayan. Perkembangan pendidikan dan teknologi menciptakan suatu budaya yang berkembang di tengah remaja itu sendiri. Hal ini terbukti dengan penggunaan slide dan alat musik yang canggih. Budaya yang kontemporer mengakibatkan banyak ide dan pemikiran yang mengarah ke dunia yang bersifat modern. Pola pikir yang diterima adalah pola pikir yang ditawarkan oleh budaya konsumerisme yang berkembang di tengah kota Yogyakarta ini. Banyak remaja yang sering nongkrong di mall Yoyakarta dan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melepaskan kelelahan kegiatan yang dilakukan.
Yogyakarta juga terkenal dan identik dengan pluralisme yang kental di Indonesia ini. Ada sekolah-sekolah yang tidak menekankan dengan dogma atau ajaran gereja, tetapi pelajaran agama tersebut diganti dengan pelajaran religiositas.[3] Mereka menyadari bahwa di dalam setiap kehidupan tidak akan pernah terlepas dari keberadaan orang lain. Tetapi juga ada beberapa gereja yang bersifat ekslusif dalam membina remajanya. Hal ini mengakibatkan remaja menjadi berpusat kepada kelompok pribadinya saja, tetapi tidak mau bergaul dengan agama yang berbeda. Ada seruan atau semboyan yang sering dikatakan oleh umat Islam yaitu Islam yes, kafir no. Ini mengakibatkan adanya paradigma yang negatif di dalam pergaulan bersama dengan agama lain. Sehingga jarang ada remaja GKI Gejayan yang menceritakan kelompok temannya yang berbeda agama dengannya.
Pergaulan juga mempengaruhi perkembangan pembinaan remaja GKI Gejayan. Pergaulan di sekolah dan di masyarakat menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan oleh gereja. Kita juga mengetahui bahwa Yogyakarta juga mempunyai kompleks pelacuran yang cukup terkenal di kalangan masyarakat kota Yogyakarta sendiri, maupun di masyarakat lain. Ini mengakibatkan adanya keadaan gejala sosial yang besar yang mempengaruhi aspek psikologis dari remaja itu sendiri, sehingga budaya tradisional yang berkembang di masyarakat menjadi pudar dan hilang. Inilah permasalahan yang besar di dalam konteks remaja di kota Yogyakarta. Permasalahan yang berkaitan budaya yang berkembang di masyarakat dan juga pengaruh urban yang mengakibatkan adanya asumsi bahwa pembinaan tidak berjalan dengan efektif. Kedua hal ini menjadi dasar untuk berpijak ke dalam pembinan yang tepat, efektif dan komprenhensif yang dilakukan di Yogyakarta ini.

B) Praxis Tentang Jurnal Keterlibatan di Komisi Remaja GKI Gejayan
Selama satu semester di tahun 2008 ini, saya mengikuti mata kuliah Pendidikan Kristiani Remaja yang diampu oleh Pdt. Tabita Kartika Christiani yang mewajibkan mahasiswa untuk terlibat dan aktif di komisi remaja di Yogyakarta ini. Sebelum kuliah ini, saya sudah aktif di komisi remaja GKI Gejayan. Keterlibatan di jemaat ini merupakan suatu pelajaran berharga yang didapat untuk bekal menjadi seorang hamba Tuhan atau pendeta. Pengenalan dan keterlibatan kepada gereja akan menolong mahasiswa untuk lebih mempersiapkan diri memenuhi tugas dan tanggung jawab pemberitaan firman Allah. Saya memilih komisi remaja karena ada faktor-faktor dan latar belakang yang penting, diantaranya sebagai berikut:
· Banyak pendeta yang merasakan kesulitan dalam membina komisi remaja karena masa remaja merupakan suatu masa pertumbuhan menuju kedewasaan yang matang. Saya berpikir bahwa apabila pendeta mampu memberi pembinaan dan mengarahkan para remaja menjadi lebih baik, maka pendeta tersebut sudah memenuhi tugas dalam mengembangkan jemaatnya. Hal ini penting karena kegagalan dalam membimbing dan membina para remaja berdampak pada regenerasi pertumbuhan gereja. Pdt. Paulus Lie sebagai pendeta jemaat di GKI Gejayan mengatakan bahwa pergumulan aktual yang dihadapi gereja adalah keterkaitan antara pembinaan kategori usia yang terkesan kurang atau bahkan tidak ada.[4] Oleh karena itu, seperti pembentukan iman, spiritualitas dan ajaran perlu dikembangkan sesuai dengan dunia pola pikir remaja.
· Saya tertantang untuk mengembangkan pembinaan yang sesuai dengan konteks dunia remaja. Banyak tema yang terlalu berat dan tidak sesuai dengan remaja dan hal ini menyebabkan remaja menjadi bosan dan malas untuk pergi ke gereja. Tema-tema yang diberikan seharusnya dipertimbangkan untuk kepentingan cakupan umur remaja. Mungkin juga ada beberapa tema yang didasarkan pada pola pikir remaja, tetapi pengolahan dan penyampaian materi pembinaan kurang mengena bagi remaja. Ini berkaitan dengan skill atau kemampuan dalam penyampaian atau pembawaan diri (homiletika).
· Saya tertarik untuk berteologi secara kontekstual di komisi remaja. Banyak pembina kategorial yang terlalu mengembangkan teologi dogmatik. Hal ini mengakibatkan remaja hanya berpikir benar dan salah (berkaitan dengan moral). Bukan berarti hal ini tidaklah penting, tetapi saya ingin mengajak remaja untuk berpikir, merasakan sendiri kehadiran Tuhan, serta mengembangkan kreatifitas dalam berteologi seperti liturgi ibadah, sharing dan pelayanan sosial maupun eksternal serta memperhatikan pergumulan dalam keluarga, sekolah, bangsa dan Negara. Kreatifitas berteologi ini kurang diberi penekanan yang mendalam, padahal permasalahan remaja yang cukup kompleks adalah pergaulan di keluarga ataupun di sekolah. Perbedaan menghadapi kemajemukan dan pluralitas di Negara Indonesia, khususnya di kota Yogyakarta adalah permasalahan yang akhir-akhir ini menjadi permasalahan bangsa. Oleh karena itu, saya akan memaparkan hasil pengamatan, kegiatan dan pergumulan yang dihadapi oleh remaja GKI Gejayan dengan mengkaitkan kepada Pendidikan Kristiani remaja. Bagaimana teori dan praxis saling melengkapi demi adanya pembinaan yang tepat dan komprenhensif sesuai dengan konteks dunia remaja dan budaya masyarakat Yogyakarta.

C) Pendidikan Kristiani Komisi Remaja GKI Gejayan
Menurut Jack L. Seymour, pendekatan dalam Pendidikan Kristiani di bagi menjadi empat bagian, yaitu Pendekatan Instruksional, Pendekatan Perkembangan Spiritual, Pendekatan Komunitas Iman dan Pendekatan Transformasi[5]. Pendekatan-pendekatan ini mempunyai penekanan yang berbeda-beda. Penekanan perbedaan tersebut nampak dalam tujuan, peran guru, peran naradidik, proses pembelajaran, konteks, dan implikasi pelayanan. Setiap pendekatan mempunyai arah dan tujuan masing-masing. Pendekatan tersebut hanya merupakan sarana metode untuk mencapai pemahaman tentang konsep Pendidikan Kristiani, karena pemahaman konsep Pendidikan Kristiani adalah percakapan untuk kehidupan, melihat dengan menggunakan sumber iman dan tradisi budaya untuk bergerak di dalam masa depan keadilan dan harapan. Konsep ini terlihat adanya suatu kontinuitas yang selalu bergerak dari waktu ke waktu. Oleh karena itu pendekatan diperlukan di dalam Pendidikan Kristiani.
Saya melihat relasi antara pendekatan tersebut dengan Komisi Remaja GKI Gejayan. Di antaranya terlihat adanya visi komisi remaja GKI Gejayan periode 2008-2009 yaitu Menuju Tubuh Kristus yang Aktif, Kreatif dan Profesional. Visi ini memperlihatkan bahwa komisi remaja GKI Gejayan menggunakan Pendekatan Instruksional karena di dalam tujuannya dikatakan bahwa nara didik dimampukan untuk berakar di dalam iman alkitab dan membuat hubungan antara isi dari iman dan kehidupan. Iman yang alkitabiah adalah suatu dasar yang menjadi pegangan remaja di dalam menjalani kehidupan. Kehidupan direfleksikan berdasarkan dengan iman yang alkitabiah, sehingga remaja mempunyai kehidupan yang tercermin melalui dasar-dasar firman Tuhan. Remaja yang mencerminkan tubuh Kristus yang siap dipakai untuk melayani dengan sebaik-baiknya. Visi komisi remaja GKI Gejayan sangat alkitabiah dan menjadi tolak ukur untuk bertumbuh dan mengenal Kristus. Saya melihat bahwa visi tersebut memampukan nara didik untuk bertumbuh dan melayani di gereja. Program-program remaja pun berkaitan dengan pelayanan yang melibatkan naradidik untuk aktif di gereja, seperti persekutuan, kebaktian, persiapan liturgos dan pemusik kebaktian. Pengurus berusaha mencari rekan-rekan untuk mau bergabung di dalam keterlibatan pelayanan remaja.
Di dalam pendekatan Instruksional, guru merupakan seorang rekan kerja dengan nara didik di dalam membangun ruang dan proses pembelajaran.[6] Saya melihat bahwa guru sebagai rekan kerja tersebut merupakan suatu jalinan relasi yang tidak hanya satu arah, tetapi dua arah. Hubungan antara guru dan naradidik harus berjalan dengan baik. Kita melihat bahwa meskipun materi pembinaan disampaikan kepada naradidik masih bersifat asing, tetapi guru berusaha untuk menyampaikan secara komunikatif dan membuat adanya hubungan yang bersifat kekeluargaan. Selain itu, guru ini tidak hanya dimengerti sebagai pemimpin atau pembawa firman saja, tetapi juga kakak-kakak pembimbing. Saya juga melihat bahwa program remaja di GKI Gejayan ada yang disebut KTB (Kelompok Tumbuh Bersama). Pertumbuhan iman ini merupakan unsur dalam pendekatan Komunitas Iman, tetapi kenyataannya tidak demikian. Karena pendekatan Komunitas Iman melakukan proses pembelajaran dengan pelayanan, refleksi dan aksi dengan implikasi adanya suatu komunitas yang menjangkau keluar[7]. Kelompok sel (KTB) yang diamati hanya suatu komunitas doa, firman dan sebatas hanya sharing yang bersifat pribadi, oleh karena itu, saya melihat bahwa unsur pendekatan Komunitas Iman nampak, tetapi belumlah sempurna. Peran kakak-kakak pembimbing adalah rekan yang hangat dan sumber informasi bagi remaja, sehingga saya lebih menggolongkan ke dalam Pendekatan Instruksional.
Proses pembelajaran di dalam Pendekatan Instruksional nampak di dalam bahan materi Komisi Remaja GKI Gejayan. Bahan tersebut menggunakan Derap Remaja. Tema-tema yang di angkat seperti, mamonisme, narsisme, kekerasan, dan narkoba no way merupakan suatu tema yang sangat dekat dengan kehidupan remaja. Remaja diajak untuk merefleksikan dan memahami di dalam kehidupan dan dunianya. Oleh karena itu, berdasarkan proses pembelajaran di dalam Pendekatan Instruksional yang membuat adanya refleksi teologi yang terjadi di dalam mengetahui, menginterprtasikan kehidupan dan melakukan iman. Remaja diajak untuk merefleksikan atas segala dunia yang sekarang berkembang dan memasuki dunianya. Di sini menjadi nampak bahwa Pendekatan Instrusional adalah suatu pendekatan yang berusaha mengajak naradidik untuk mengetahui, merefleksikan dan terlebih lagi melakukan iman yang sesuai dengan dasar alkitabiah.

D) Pembinaan Remaja GKI Gejayan
Pembinaan yang tepat dan komprenhensif haruslah melihat konteks di mana gereja itu berada. Konteks yang berhubungan dengan remaja GKI Gejayan adalah berkaian dengan pergaulan budaya populer, masyarakat urban dan dipengaruhi oleh setting sosial yang pluralistik. Kita melihat bahwa masing-masing konteks tersebut mempengaruhi di dalam pembinaan pertumbuhan remaja yang holistik. Langkah awal yang perlu dalam pembinaan adalah adanya persepsi mengenai siapa orang muda tersebut. Persepsi kita tentang “siapa orang muda” akan membentuk pandangan kita tentang hakikat pembinaan dan selanjutnya menentukan sikap dan cara pendekatan kita.[8] Banyak persepsi yang negatif yang sering diterima oleh remaja dan pemuda, di antaranya adalah remaja masih belum bisa mandiri, bersikap apatis, masa bodoh dan sering kali acuh tak acuh di dalam menanggapi persoalan kehidupan atau kemasyarakatan. Persepsi yang positif membuat adanya visi yang jelas dan mengarah ke depan menjadi lebih baik.
Remaja sebenarnya mempunyai potensi yang positif mengenai kehidupan yang lebih baik. Sejarah reformasi 1998, remaja dan pemuda mempunyai ciri-ciri potensi yaitu dinamis, berorientasi masa depan, terbuka, kreatif dan empatik.[9] Ciri-ciri ini menunjukan bahwa remaja dan pemuda mempunyai revolusi kesadaran yang mempunyai visi dan misi jauh kedepan. Peran remaja dan pemuda yang mendobrak status quo demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Saya melihat bahwa remaja GKI Gejayan kurang diberi perhatian mengenai kehidupan politik dan bermasyarakat, sehingga revolusi kesadaran tersebut tidak tercipta, sehingga remaja hanya berpikir mengenai kesenangan pribadi atau pergaulan yang hanya menyangkut individu dan tidak melihat pergumulan masyarakat yang besar, seperti krisis global atau ekonomi. Remaja sebenarnya mampu berpikir hipotetis dan abstrak, tetapi daya kritis dan motivasi tersebut tidak di berikan mulai sejak dini atau di dalam pembinaan remaja. Remaja perlu melihat gejala sosial dan politik disekitarnya, seperti korupsi, kemiskinan dan keadilan, sehingga daya imajinasi tersebut mampu mendorong untuk menciptakan kemauan untuk sadar dan peka akan kehidupan masyarakat.
Persepesi mengenai pembinaan menjadi fokus dan arah untuk menciptakan segala pengajaran yang baik. Kita memahami pembinaan sebagai perwujudan keprihatinan gereja pada orang muda sebagai the churchmen of today. Hal-hal yang perlu di hindari adalah pemanjaan orang muda, penggiringan orang muda dan peremehan orang muda.[10] Oleh karena itu, remaja tidak menjadi hilang semangat untuk mencari potensi diri untuk menjadi lebih baik. Masalah berkaitan dengan pergaulan dan hidup dengan budaya popular lebih dilihat sebagai fungsional dan tidak mengganggu akan moralitas yang menjadi remaja jatuh akan dunia konformisme (budaya ikut-ikutan). Semangat, pemberian kepercayaan diri dan penghargaan diri kepada remaja akan memberikan dorongan yang besar kepada remaja. Oleh karena itu, kesadaran yang revolusioner akan tercipta di dalam perkembangan dan pertumbuhan remaja.
Konteks yang berkaitan dengan masyarakat urban juga menjadi permasalahan yang penting di dalam pembinaan remaja. Remaja merupakan masa mencari jati diri dan identitas diri, tetapi di sisi lain remaja GKI Gejayan adalah berasal dari luar daerah Yogyakarta yang sedang mencari ilmu di kota gudeg ini. Pembinaan yang efektif berkaitan dengan jemaat simpatisan ini adalah belajar dari makna hidup Taize. Banyak orang muda yang berbondong-bondong untuk mencari misteri yang abadi. Di dalam komunitas Taize dapat menemukan ilham dan teladan dan bukannya tabu-tabu dan larangan-larangan.[11] Oleh karena itu di Taize tidak terdapat moralisme. Sesuatu yang benar atau salah, tetapi sangat menekankan kesadaran untuk berefleksi akan kehadiran Tuhan, sehingga Syalom tersebut dapat diberitakan. Mereka hidup dalam dunia yang berbeda dan membawa aliran gereja yang berbeda, tetapi keindahan tersebut dilihat dengan apa yang disebut dengan Dionysius Aeropagus atau keindahan persatuan. Kita juga melihat bahwa masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang pluralistik, tetapi biarlah semangat persatuan menjadi dasar untuk menciptakan relasi yang baik antara sesama dan Tuhan. Semboyan yang pernah dikatakan oleh orang Islam yaitu Islam Yes, kafir No, perlu ditinjau dan didialogkan. Kafir yang dianggap oleh orang Islam mungkin bukan agama-agama yang berada di sekitarnya, tetapi kafir dalam arti orang yang musrik atau menyembah selain Tuhan. Gereja perlu melihat dan mengembangkan pembinaan yang berwawasan luas dan bukannya sempit atau eksklusif, tetapi pembinan yang mau menerima dan terbuka akan kemajemukan yang ada di masyarakat Yogyakarta ini. Hal ini terbukti baik dengan keterlibatan Pdt. Paulus Lie di dalam organisasi FKUB (Forum Kesatuan Umat Beragama) di Yogyakarta. Remaja perlu mengembangkan untuk melakukan kegiatan yang tidak hanya intern gereja saja, tetapi melihat pergumulan yang berada di luar, seperti kemiskinan dan ketidakadilan, sehingga kesadaran dan kepekaan tersebut dapat menemukan makna akan kehidupan di masa remaja ini. Banyak hal yang perlu dibantu, seperti masyarakat kali Code yang ada di Yogyakarta. Banyak orang muda yang tidak peduli dengan nasib kemiskinan, tetapi kenyataan tersebut memampukan remaja untuk berpikir dan berpotensi mengembangakan menjadi lebih baik. Kalau remaja dan pemuda tahun 1998 saja mampu mendobrak status quo, apakah remaja GKI Gejayan mampu mengubah nasib masyarakat kali code di Yogyakarta? Pertanyaan yang perlu untuk direnungkan.

E) PENUTUP
Demikianlah suatu analisa dan jurnal mengenai keterlibatan di dalam pelayanan komisi remaja GKI Gejayan. Saya mempunyai rasa yang optimis bahwa remaja mempunyai potensi yang besar di dalam kemajuan masyarakat, berbangsa dan khususnya regenerasi gereja. Pembinaan yang holistik dan pendampingan yang penuh dengan kasih memampukan para remaja untuk dapat menemukan makna hidup dan dapat berkreasi menjadi pribadi yang matang dan menyenangkan. Akhir kata, tiada gading yang tak retak, untuk itu mohon maaf atas penjelasan yang terbatas ini.

DAFTAR PUSTAKA

Clement, Oliver. Taize: Mencari Makna Hidup. Yogyakarta: kanisius, 2003.

Cremers, A. Tahap Perkembangan Kepercayaan menurut J.W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius. 1995

Erikson, E.H. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia. 1989

Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Ja’asutra, 2007

Lembaga Pembinaan dan Pengkaderan Sinode GKJ dan GKI Jateng, Motivasi Visi dan Misi Pembimbing remaja. Yogyakarta: LPP Sinode, 1997.

Seymour, Jack L., “Mapping Christian Education”

Suparno, Paul Dr. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. 2001

Tangdilintin, Philips. Pembinaan Generasi Muda dengan Proses Manajerial VOSRAM. Yogyakarta: Kanisius, 2008




[1] Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Ja’asutra, 2007 Hal 87
[2] Artikel yang ditulis dan disampaikan oleh Dra. Mariani Sutanto, pada saat kuliah Pendidikan Kristiani Remaja di Universitas Kristen Duta Wacana pada tanggal 6 Oktober 2008.
[3] Pejaran religiositas adalah pelajaran yang diberikan di SMA Bopkri 1 yang bisa dipelajari oleh semua agama.
[4] Artikel ini berjudul “Restrukturisasi, Untuk Revitalisasi Jemaat” yang disampaikan oleh Pdt. Paulus Lie di GKI Gejayan di dalam pembinaan kepada para pekerja dan aktifis gereja sekitar bulan Agustus 2008.
[5] Seymour, Jack L., “Mapping Christian Education” hlm 21
[6] Seymour, Jack L., “Mapping Christian Education” hlm 21
[7] Ibid
[8] Tangdilintin, Philips. Pembinaan Generasi Muda dengan Proses Manajerial VOSRAM. Yogyakarta: Kanisius, 2008 Hal 23
[9] Ibid Hal 27
[10] Tangdilintin, Philips. Pembinaan Generasi Muda dengan Proses Manajerial VOSRAM. Yogyakarta: Kanisius, 2008 Hal 55-56

[11] Clement, Oliver. Taize: Mencari Makna Hidup. Yogyakarta: kanisius, 2003. hal 31

MENUJU KESEJAHTERAAN dan kedamaian SEJATI

MENUJU KESEJAHTERAAN dan kedamaian SEJATI
Sebuah tawaran analisa kasus terpidana mati Amrozi dkk dalam pluralitasIndonesia

I. Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam dan plural. Bangsa yang mempunyai banyak perbedaan baik dari segi suku, agama, ras maupun golongan. Bangsa Indonesia diakui oleh manca negara sebagai bangsa yang khas dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan tersebut sangat melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Tetapi, apakah semboyan tersebut masih tetap berlaku dan relevan hingga masa sekarang?
Awal bulan November yang lalu, kita telah mendengar dan melihat sebuah berita yang hangat dan penting baik di kalangan nasional maupun internasional mengenai hukuman eksekusi terpidana mati kasus peledakan bom bali I. Penghukuman tersebut menandakan adanya asumsi dari kalangan masyarakat yang dapat menggugat disintegrasi bangsa dan hilangnya semangat semboyan Negara Indonesia. Mengapa asumsi tersebut ada? Karena kita telah dikejutkan dengan respon dari beberapa kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi bahwa mereka akan meneruskan perjuangan jihad seperti Amrozi dkk.[1] Mereka (kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi) akan menghancurkan beberapa pusat penjualan yang berasal dari Negara Amerika, karena mereka memahami bahwa aktor intelektual dibalik penghukuman mati tersebut adalah Negara Amerika. Kabarnya, mereka akan melakukan pengeboman pada hari Natal (25 Desember 2008) karena mereka mengklaim bahwa Amerika identik dengan orang Kristen. Banyak kalangan atau kelompok yang pro dan kontra mengenai penghukuman eksekusi mati Amrozi dkk.
Lalu, apakah tindakan Negara atas eksekusi terpidana mati Amrozi dkk tersebut benar? Bukankah hal semacam itu dapat melunturkan esensi semboyan bangsa Indonesia? Bagaimana jika eklusifitas jauh lebih menonjol dari pada pluralitas dalam diri bangsa Indonesia? Kasus ini menjadi titik acuan penulis untuk mengungkapkan sebuah tawaran terhadap pandangan dan harapan bagi bangsa Indonesia agar dapat sejahtera. Penulis akan menuliskan sebuah komunitas negara Cordoba Spanyol yang pluralistik dari segi keagamaan dan juga mampu hidup dalam damai di antara masyarakat.

II. Belajar Dari Peradaban Masyarakat Pluralistik Cordoba yang Beradab[2]
Bagian ini berbicara tentang kekuasaan Al-Andalus pada masyarakat kota pluralistik Cordoba Spanyol berdasarkan agama-agama Abraham. Agama-agama ini mempunyai peranan yang besar bagi perkembangan manca negara dan pemikiran teologis yang berkaitan dengan agama yang misioner. Dr. Kees De Jong menjelaskan bahwa masyarakat Al-Andalus merupakan masyarakat yang majemuk. Banyak keturunan orang Romawi, orang Visgoth, orang Vandal, orang Spanyol, orang Berber, orang Arab, orang Slav yang hidup bersama-sama dan saling berdampingan. Selain itu, dari segi agama juga hidup rukun yaitu antara agama Islam, Kristen dan Yahudi. Lalu mengapa ada penerimaan dan saling menghargai di antara masyarakat? Karena ada sebuah sistem pemerintahan atau struktur yang dipimpin oleh gubernur-gubernur, Amir-amir (gelarnya diubah pada tahun 926 untuk menjadi khalifah-khalifah). Sistem tersebut tidak menerapkan otoriter kekuasaan, tetapi setiap daerah ataupun propinsi diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Jika kita melihat sistem yang ada di Indonesia, sistem tersebut sama dengan sistem otonomi daerah.
Keadaan Spanyol sebelum invasi Islam masuk, Cordoba berada pada kekuasaan kaum Visgoth. Kaum ini tidak menguasi Spanyol secara penuh karena agama yang dianut adalah aliran Kristen Arian[3] berbeda dengan masyarakat Spanyol yaitu Katolik Roma. Selain berada di bawah kekuasaan Visgoth, kekuasaan Cordoba juga berada pada kaum Aristokrat yang berdasarkan kaum elit penguasa pada waktu itu, sehingga mereka sulit memilih para prajurit. Ada jurang yang besar antara penguasa dan masyarakat. Jurang besar itu mengakibatkan banyak rakyat menderita dan hidup tidak bebas. Mereka hanya bekerja sebagai budak dan petani. Ada keputusan-keputusan sinode gereja tahun 693 yang menyatakan bahwa ada sentimen terhadap orang Yahudi, kemudian pada tahun 694 diambil keputusan bahwa apabila ada seseorang yang belum babtis katolik akan dijadikan budak.
Zaman berubah pada saat invasi Islam masuk Spanyol. Invasi Islam tersebut menuju Spanyol dan Prancis. Invasi tersebut dimulai pada tahun 630 dengan penaklukan kota Makkah oleh Nabi Muhammad. Pada tahun 717 banyak permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Cordoba karena terjadi perang Tours/Potiers pada bulan Oktober 732, banyak orang Islam diusir dari Spanyol dan Prancis. Permasalahan itu memberikan segi positif bagi kebudayaan Arab, karena pada saat itu kebudayaan tersebut telah berkembang dan dapat dipelajari oleh orang Kristen dan Yahudi, sehingga mereka dapat berbahasa Arab dan Spanyol. Hubungan antar agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dalam masyarakat Cordoba, ditulis oleh Irving yang menyatakan sebuah hubungan antar agama di Cordoba yang saling menghargai.[4]
...Bangsa Arab menunjukan toleransi yang sangat mendasar dari golongan ahli kitab, setelah penaklukan golongan orang Kristen…menikmati kebebasan sipil dengan gereja, hukum, pengadilan, hakim, uskup dan kebangsaan mereka sendiri. Penguasa Islam hanya menuntut hak untuk menyetujui pengangkatan uskup dan memanggil Dewan gereja.
Golongan Kristen di selatan yang meletakan senjata dibiarkan memiliki tanah-tanahnya, tetapi harus membayar jizjah atau pajak untuk mendapatkan hak memberi suara. Di utara mereka tetap memiliki perkebunan buah-buahan dan dapat ditanami tanaman jenis lain, kemudian mereka diwajibkan membayar kharaj…
Golongan Yahudilah yang benar-benar tertolong oleh penyerbuan Arab ini. Mereka menjadi orang merdeka dan secara aktif membantu bangsa Arab dalam memerintah Spanyol…

Abdurahman I yang disebut sebagai Abdurahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik (728-788) adalah pendiri Emirat Ummyyah di Spanyol. Bagaimana seorang pemimpin mampu mempertahankan kesatuan dan menjadi lebih maju? Pada tanggal 15 Mei 756, kebetulan hari jumat, Abdurahman menaklukan Cordoba dan mengatakan bahwa dia memplokamirkan dirinya sebagai penguasa dan dengan sungguh-sungguh berjanji akan menegakan keadilan bagi semua kelas.[5] Keadaan pada saat itu juga berubah drastis, ia membagi tiap daerah dan dipimpin oleh gubernur, ia membangun dinding tembok yang terkenal dengan ibu kota Cordoba, ia membangun masjid Agung al-Hamra di Cordoba, membangun pusat pendidikan, ia juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat dengan membuat saluran-saluran air untuk irigrasi. Oleh karena itu, banyak aspek yang berkembang dan maju, seperti hubugan agama-agama yang melahirkan masyarakat sipil (madani), ekonomi, politik, pendidikan, perdagangan dan masalah tentang moral yang berkaitan dengan persahabatan dan persaudaraan di antara masyarakat.
Sesudah berakhirnya pemerintahan Abdurahman I, banyak persaingan yang menyebabkan disintegrasi bangsa pada saat itu. Banyak pemberontak dari suku-suku Arab dan Berber yang menggoncang kesatuan pemerintahan Cordoba. Pada saat itu pemerintahan diganti oleh Abdurahman III. Dia membuat keputusan tegas di tengah gejolak disintegrasi yang terjadi dengan membuat sebuah keputusan mengenai posisi dan perannya dengan sebutan Khalifah (pembela agama Allah). Peran tersebut membuat adanya benteng yang kuat terhadap pemerintahan yang dipegang oleh Abdurahman III. Melalui posisi perannya yang teratas di Ummayah Spanyol, ia mampu menyelamatkan Andalusia dari serbuan suku-suku atau agama lain. Ia juga memperbaiki sistem ekonomi yang kacau balau menjadi lebih tertata dan baik, dia memperkuat benteng pertahanan dari ancaman luar sehingga keamanan masyarakat menjadi kondusif. Pemerintahan yang khas pada masanya adalah tidak adanya perbedaan dalam pembagian peran kekuasaan pemerintahan baik orang Islam, Kristen maupun Yahudi. Semua bisa dan boleh menjadi pemimpin ataupun gubernur di setiap wilayah atau daerah. Sistem pertahanan yang kuat berasal dari kesatuan antara suku Berber, Slav, dan orang Spanyol yang dulunya adalah budak yang diperalat oleh kekuasaan sebelumnya.

III. Tanggapan dan Analisa
Dari ringkasan sejarah Cordoba tersebut, bagaimanakah dengan bangsa Indonesia yang merupakan masyarakat pluralistik yang beradab dan berdasarkan sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab? Akankah Indonesia menjadi Negara yang damai, adil dan sejahtera di tengah modernitas dan kemajuan zaman ini? Terlebih lagi menghadapi kasus Amrozi dkk. Dari sinilah, kami penulis menawarkan beberapa hal berkaitan dengan pandangan akan pluralistik agama, HAM dan peran gereja, negara maupun masyarakat sendiri terhadap gentingnya kasus Amrozi dkk.

A) Pluralistik Agama dan Hak Asasi Manusia
Sejarah Indonesia telah membuktikan betapa sulitnya suatu hal mengacu pada pluralistik. Banyak keraguan yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Kita dapat mengetahui pada pemerintahan Presiden Soekarno, unsur komunis diperbolehkan pada pemilihan umum. Pada pemerintahan Presiden Soeharto, akhirnya berdampak pada G30/S PKI sehingga komunis dilarang keras masuk Indonesia. Ketika tumbangnya orde baru, banyak golongan dan aspirasi rakyat yang muncul untuk berjuang menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih baik, seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempuk (FBR), dll.
Banyak golongan dan daerah yang ingin menjadikan bangsa Indonesia menjadi Negara theokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Ini merupakan suatu tatanan yang diterapkan oleh Negara Indonesia, tetapi apakah hukum tersebut relevan dan masih berlaku dalam kemajemukan yang terjadi di Indonesia? Penulis menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat mutlak antara masyarakat Cordoba dengan masyarakat Indonesia. Pada satu sisi, memang dikatakan berbeda, tetapi motivasi perbedaan tersebut patut dipertanyakan. Pemimpin Cordoba menerapkan hukum theokrasi, namun bukan berarti menjadikan agama yang lain untuk memeluk agama Islam. Selain itu, adanya motivasi yang menganggap agamaku yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain, membuat adanya perbedaan yang berujung pada perpecahan.
Golongan atau agama yang berjuang dengan memperbaiki bangsa Indonesia menjadi lebih baik merupakan kewajiban asasi golongan maupun agama sebagai bangsa Indonesia, namun, bukanlah hak yang didasarkan atas kemanusiaan. Faktor yang menentukan persatuan adalah wujud kemanusiaan yang kongkret dalam kehidupan manusia. Prof Mohammed Arkoun mengatakan bahwa Islam akan meraih kejayaan jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapapun.[6] Negara Arab pun sebenarnya sudah belajar akan pemikiran humanisme yaitu sekitar abad ke 10, Istilah yang dipakai adalah Munadharah.
Dr. Kees De Jong mengatakan bahwa peraturan-peraturan pemerintah Indonesia kadang-kadang lebih mengganggu hubungan harmonis antara agama dari pada mendorong hubungan antara agama yang baik. Ini memang kenyataan yang ada di Indonesia. Kita terlalu memberikan perspektif personal agama yang diungkapkan dalam tatanan pemerintah, sehingga perpektif universal tidak ada. Orang cenderung mempunyai motivasi yang bersifat golongan (kepentingan pribadi) daripada kepentingan yang bersifat kemanusiaan (universal). Ini membuat adanya ketidakharmonisan bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Penulis mempertegas kembali bahwa hal ini pula akan menghambat hak asasi manusia yang paling hakiki.

B) Peran Agama, Negara dan masyarakat di Indonesia
Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia bersifat multireligius. Tentunya, masyarakat perlu menempatkan prinsip-prinsip keagamaannya dalam sebuah relasi yang benar antara Negara maupun agama. Setiap agama yang dianut oleh masyarakat pastinya mempunyai nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum. Sejatinya, nilai dan norma tersebut memberi dasar dan orientasi bagi kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk. Namun, bukan berarti Negara Indonesia harus hidup berdasarkan agama, melainkan berdasarkan pada aplikasi praktis agama dalam bidang kemasyarakatan. Bukan ajaran/dogma dari setiap agama, melainkan nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum tersebut.[7]
Masyarakat Indonesia kadang-kadang masih mempunyai konsepsi pemahaman akan sebuah mitos yang telah membudaya dengan begitu kuat. Tetapi setelah perkembangan yang membuktikan bahwa kekuasaan religius tidak mampu menyejahterakan manusia, maka lahirlah suatu pemikiran yang lebih bersifat humanis. Banyak perkembangan yang maju di dalam masyarakat. Bagaiamana posisi kekuasaan dan masyarakat yang bersifat tradisional di transformasi menjadi yang lebih baik berdasarkan daya pikir dan intelektual manusia. Pemahaman ini tetap saja ada di masyarakat Yogyakarta, bagaimana menganggap Sri sultan Hamengku Buwono adalah titisan Ilahi, tetapi masyarakat tetap mempunyai pemikiran yang tidak hanya bersifat mitos saja, tetapi juga realistis.
Mayarakat yang baru mengganti corak tradisional tersebut dapat berjalan dengan efektif dan baik apabila berpartisipati aktif di tengah kemajemukan yang ada di dalam Negara dan bangsa. Masyarakat yang mempunyai kontribusi dengan keyakinan dan dedikasi yang tulus, serta masyarakat yang partisipatoris dan sejahtera secara umum tidak bergantung pada dogma atau ajaran, tetapi bergantung pada moral dan kebajikan para anggota masyarakat.[8] Ini merupakan suatu kepercayaan baik dari diri masyarakat sendiri yang mempunyai keinginan kuat untuk maju dan lebih baik, tetapi juga kepercayaan yang diberikan kepada penguasa untuk mewujudkan aspirasi rakyat dan masyarakat sekitar, sehingga kepercayaan yang tidak hanya internal, tetapi juga eksternal. Masyarakat atau suatu komunitas diperlukan penghormatan dan penghargaan di dalam penerimaan diri akan suatu kemajemukan bangsa yang berbeda-beda, sehingga aspek-aspek dogmatis atau ajaran yang bersifat eksklusif tidak relevan di dalam kemajemukan ini, tetapi aspek penghayatan akan spiritualitas yang menjadi langkah pijak di dalam menjadi relasi kebersamaan beragama. Oleh karena itu, rasa keterbukaan antara masyarakat menjadi suatu awal yang baik membangun korelasi hidup beragama. Penulis menyadari bahwa masyarakat Indonesia sudah banyak belajar pluralitas sejak dahulu kala. Hal ini terbukti dengan dengan pendirian candi prambanan (hindu) dan di sampingnya terdapat candi yang berasal atau bersumber dari agama budha. Ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia sudah banyak belajar akan pluralitas dan kemajemukan.
Dalam diri Negara Indonesia pun terdapat asas dasar Negara yaitu pancasila yang dapat dijadikan sebagai “pandangan dunia” yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia apapun agamanya. Tentunya, dari sinilah, negara Indonesia perlu melihat kembali dasar negaranya agar dapat saling menghormati dan melindungi ikatan religius warganya. Negara berdasarkan atas pancasila,. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti tidak mengakui suatu agama sebagai agama Negara. Bukan Negara yang percaya kepada Allah, melainkan warga Negara sesuai dengan nilai, norma, etis, moral dan hukum. Sila ini juga mempunyai implikasi yang bersifat sosial, artinya bagaimana masyarakat mampu menghormati setiap pemeluk agama lain.
Jika kita mengingat kembali peristiwa 11 September 2001, bagaimana gedung WTC di New York Amerika Serikat hancur. Hal ini mengakibatkan sebuah wacana tentang pandangan Islam yang negatif. Suatu agama yang lahir dan dipersepsikan sebagai agama yang melahirkan kekerasan dan terorisme.[9] Tetapi apakah ini merupakan suatu perubahan dan paradigma mengenai agama Islam secara menyeluruh? Jika hal ini benar-benar terjadi maka peran utama agama Islam bukan lagi sebagai sumber moral dan pencerahan hidup, melainkan semata sebagai alat legitimasi politik dan sarana mobilisasi masa yang biasanya mengabdi pada kepentingan kekuasaan dan akumulasi kapital.[10] Di sini, agama menjadi sebuah alat yang digunakan oleh penguasa kekuasaan untuk mencapai sebuah kepentingan politik.
Prof. Dr. Olaf Schuman mengatakan bahwa kerukunan beragama bukanlah tujuan akhir, sebab misi agama bukan semata menjalin kerukunan dan perdamaian semata, melainkan untuk untuk memberikan pelayanan pada umat manusia agar tumbuh menjadi hamba-hamba Tuhan yang baik. Perkataan ini menunjukan bahwa otoritas yang Ilahilah yang menjadi dasar manusia berpijak dan menjalin relasi dengan manusia dan dunia. Bagaimana kehidupan manusia yang lebih berwatak dan bermartabat sesuai dengan dasar-dasar kebangsaan? Ideal yang dikatakan oleh Olaf Schman adalah umat beragama mestinya menjadi tiang penyangga persatuan bangsa dan pemberi solusi atas problem-problem sosial yang muncul (problem solver), bukannya malah menjadi komunitas yang justru menimbulkan sumber masalah bangsa (problem maker). Konteks kehidupan bangsa Indonesia tidak akan pernah terlepas dengan pluralitas.
Jika kita mengingat kembali GBHN 1988, pemerintah RI menghimbau agar agama-agama lebih giat menegakan kaidah-kaidah yang menolong mengembangkan segi moral, etika dan spiritual dalam kehidupan bangsa.[11] Hal ini tidak terjadi dalam realita karena negara sendiri seakan-akan menghambat relasi dalam keberagaman bersama agama lain. Seperti misalnya kita mengetahui akhir-akhir ini mengenai UU pornografi dan porno aksi, serta UU pernikahan beda agama. Hal ini mengakibatkan bahwa kebijakan dan peraturan Negara atau penguasa tidak membuat kesejahteraan masyarakat, tetapi perpecahan. Jika kita melihat pemerintahan masyarakat cordoba, maka untuk itu beberapa hal yang dapat digali menurut Eddy Kristiyanto adalah bagaimana di dalam kehidupan manusia, agama dapat memberikan penilaian moral di bidang politik, agama menggunakan upaya-upaya duniawi seraya mempertahankan keutuhan kesaksian injil, agama dan negara harus melayani panggilan manusia, agama dan Negara perlu menciptakan kerjasama yang sehat serta agama menghargai mereka yang memperjuangkan kesejahteraan umum.[12]
Dari seluruh pembahasan di atas, dengan melihat kembali tugas dan kewajiban Negara sebagai Negara pancasila, maka kebijakan dan keputusan atas kasus terpidana mati Amrozi dkk tersebut sudahlah tepat. Bagaimana mungkin Negara dapat menyejahterahkan masyarakat jika oknum atau tokoh yang membuat “resah” di sebagian besar kalangan masyarakat tidak dimusnahkan? Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan hukum. Tentunya, bersikap setimpal dengan kesalahan yang diperbuatnya. Meskipun agama melihat dari sisi kemanusiaannya, pasti juga mempunyai perasaan yang tidak rela adanya seorang manusia yang dihukum mati. Kita juga tidak melepaskan konteks ini dengan hak asasi manusia bahwa manusia membutuhkan adanya hidup yang damai dan tentram. Jika Amrozi tidak dihukum mati maka asumsinya akan muncul kembali bom kesekian kalinya. Namun bukan berarti setelah terpidana matinya Amrozi, Negara Indonesia menjadi aman dan sejahtera. Justru akan banyak misteri yang timbul karena memang adanya kontroversi terhadap kasus eksekusi tersebut. Tidak begitu saja masyarakat menjadi tentram, tetapi masyarakat harus lebih waspada terhadap serangan yang akan muncul. Di sini diperlukan tugas Negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti penjelasan di awal bahwa masyarakat itu multireligius, tentu saja multi ideologi. Maka tidaklah aneh jika asumsi “penindasan” terhadap orang Kristen (Amerika) akan terwujud, namun pemikiran dan ideologi tersebut tidaklah bijaksana.

IV. REFLEKSI TEOLOGIS
Gereja yang menjadi bagian dalam tugas dan tanggung jawab untuk menghadirkan syalom sebaiknya perlu meninjau ulang berdasarkan konteks dimana berada. Prof. Olaf H. Schumann mengatakan bahwa gereja dan orang beriman bersifat relasional dan berhubungan. Oleh karena itu, kita tidak hidup bagi diri sendiri, iman Kristen kita pun tidak berlaku bagi diri sendiri. Pemahaman ini tidak hanya bersifat eksklusif, tetapi bersifat inklusif dan pluralis. Artinya, gereja mengakui bahwa dia hidup di dalam dunia yang beragam dan majemuk. Suatu keadaan yang didasarkan pada pemahaman sosilogis yang berkaitan dengan makhluk sosial yang tidak akan pernah terlepas dengan orang lain.
Banyak permasalahan agama yang berujung kepada kekerasan menjadi sentimen akan pemeluk beragama. Hal ini mempengaruhi implikasi praktis suatu telogi atau instruksi rohani untuk mengatakan akan pembalasan dendam karena adanya kontruksi teologis yang salah dan tidak relevan. Dari Ambon malah diberitakan ucapan pendeta dan imam yang sama-sama mengatakan penangguhan nilai, norma moral dan etika Kristen maupun Islam: yang berlaku sekarang adalah hukum balas dendam.[13] Kontruksi teologis ini mengistilahkan adanya gambaran api berperang melawan api dan tentunya api yang menang dan bukannya rekonsiliasi perdamaian.
Kontruksi teologis yang berkaitan dengan keperbedaan dan kemajemukan berkaitan dengan misi gereja juga perlu ditinjau ulang dalam rangka menciptakan teologi yang komprenhensif bagi masyarakat secara luas. Kita mendengar bahwa satu tahun yang lalu ada acara Kristen di Yogyakarta besar-besaran yang diprotes oleh pihak militan Islam.[14] Bernard Adeney Risakotta mengatakan bahwa persoalannya bukan bagaimana memahami sesuatu yang mutlak benar, melainkan bagaimana kita bertindak (praxis) dalam konteks nyata supaya kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan sekaligus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Misi gereja selalu dikaitkan dengan injil Matius pasal 28: 19-20 yang berbunyi, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ayat-ayat ini sering disebut sebagai “Amanat Agung” (the Great Commision). Hal ini mengandung sesuatu yang kontradiksi dengan Matius 22:37-39 yang berkaitan dengan hukum terutama dan yang pertama. Oleh karena itu, bagaimana misi tersebut dilakukan dalam konteks yang tepat yang plural dalam kemajemukan di Indonesia. Kita harus mengetahui konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi di Indonesia dan bukannya konteks Palestina pada abad pertama, karena kita sering kali mengedapankan dogma yang bisa membuat terbenturnya dengan kondisi masyarakat lainnya. Oleh Karena itu, jangan merasa kaget apabila selama berabad-abad terjadi berbagai persaingan, ketegangan, diskriminasi, penindasan, perang saudara dan pembantaian yang terkait dengan persoalan agama.
Metode-metode misi gereja diperlukan suatu pendekatan yang berkaitan dengan aspek kontekstual masyarakat. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa kita perlu berteologi secara kontekstual di dalam membangun relasi antara agama-agama, sehingga tercipta keharmonisan. Banyak tafsiran alkitab yang kadang-kadang asal comot ayat dan tidak memperhatikan dalam kontek saat itu. Kita berteologi dalam masa kini dengan memperhatikan konteks memang di perlukan, tetapi konteks alkitab jaman dulu juga harus diperhatikan, sehingga ayat tersebut mempunyai dasar biblis yang kuat dan tidak hanya asal dicomot. Kita sering mendengar Yohanes 14 : 6 yang mengatakan bahwa Agama Kristen lebih unggul dengan agama lain. Ayat tersebut berbunyi “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” Konteks tersebut sebenarnya tidak berbicara mengenai misi, tetapi berbicara akan suatu pergumulan konteks sosial dan politik bahwa sistem penguasa yang kuat membuat masyarakat tidak bisa memilih kehidupan yang benar, sehingga Yesus mengatakan ayat tersebut. Bagaimana orang-orang miskin dan tidak berdaya menjadi bergumul akan pilihan kehidupan yang tidak bisa apa-apa karena penindasan dari golongan penguasa. Sejatinya, bahwa gereja mempunyai misi yang menghadirkan syalom yang sesungguhnya dan bukannya perpecahan dan disintegrasi bangsa.
Kita dapat belajar dari masyarakat Cordoba bahwa seorang pemimpin mampu memplokamirkan diri dan berjanji untuk menyejahterakan masyarakat, padahal corak pemerintahannya adalah teokrasi, sedangkan Indonesia yang bersorak sistem republik dan berasaskan Pancasila sangat sulit untuk menciptakan keharmonisan. Terkadang pemimpin masih memikirkan kepentingan pribadi.
Sejatinya, gereja mempunyai misi menghadirkan syalom dan bukannya perpecahan maupun disintegrasi bangsa. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih memberikan suatu konsep yang diambil dari teolog Katolik John S. Dunne yaitu “passing over and coming back”.[15] Bagaimana kita terbuka terhadap agama lain dan berupaya untuk belajar juga pada agama lain sehingga ada suatu koneksi dan korelasi antara keduanya, serta dalam konteks tidak hanya wacana, tetapi ada suatu penghayatan spiritualitas yang memampukan manusia untuk hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk itu, sebagai orang Kristen diperlukan sebuah keterbukaan untuk mau menerima kritik dan tidak hanya eksklusif dimana pun berada.
V. PENUTUP
Akhirnya, kekuatiran terhadap asumsi negatif akibat terjadinya eksekusi mati Amrozi dkk perlulah ditipiskan. Inilah, sebuah tawaran bagi agama, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menuju kesejahteraan dan kedamaian yang sejati.
DAFTAR PUSTAKA

De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008.
Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
[1] Siaran Metro TV pada tanggal 26 Oktober 2008 pukul 18.00
[2] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
[3] Aliran yang menganggap Yesus sebagai manusia.
[4] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 6
[5] Ibid Hal 7
[6] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 21
[7] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 200 hal 72-82
[8] Ibid hal 53
[9] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal XII
[10] Ibid Hal xiii
[11] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal 22
[12] Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008. hlm.141-142
[13] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004 hal 126
[14] Acara KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di sertai dengan kuasa penyembuhan itu di adakan di Stadion Mandala Krida Yogyakarta dengan pendeta yang berasal dari Kanada.
[15] Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 hal 157
Sebuah tawaran analisa kasus terpidana mati Amrozi dkk dalam pluralitasIndonesia

I. Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam dan plural. Bangsa yang mempunyai banyak perbedaan baik dari segi suku, agama, ras maupun golongan. Bangsa Indonesia diakui oleh manca negara sebagai bangsa yang khas dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan tersebut sangat melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Tetapi, apakah semboyan tersebut masih tetap berlaku dan relevan hingga masa sekarang?
Awal bulan November yang lalu, kita telah mendengar dan melihat sebuah berita yang hangat dan penting baik di kalangan nasional maupun internasional mengenai hukuman eksekusi terpidana mati kasus peledakan bom bali I. Penghukuman tersebut menandakan adanya asumsi dari kalangan masyarakat yang dapat menggugat disintegrasi bangsa dan hilangnya semangat semboyan Negara Indonesia. Mengapa asumsi tersebut ada? Karena kita telah dikejutkan dengan respon dari beberapa kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi bahwa mereka akan meneruskan perjuangan jihad seperti Amrozi dkk.[1] Mereka (kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi) akan menghancurkan beberapa pusat penjualan yang berasal dari Negara Amerika, karena mereka memahami bahwa aktor intelektual dibalik penghukuman mati tersebut adalah Negara Amerika. Kabarnya, mereka akan melakukan pengeboman pada hari Natal (25 Desember 2008) karena mereka mengklaim bahwa Amerika identik dengan orang Kristen. Banyak kalangan atau kelompok yang pro dan kontra mengenai penghukuman eksekusi mati Amrozi dkk.
Lalu, apakah tindakan Negara atas eksekusi terpidana mati Amrozi dkk tersebut benar? Bukankah hal semacam itu dapat melunturkan esensi semboyan bangsa Indonesia? Bagaimana jika eklusifitas jauh lebih menonjol dari pada pluralitas dalam diri bangsa Indonesia? Kasus ini menjadi titik acuan penulis untuk mengungkapkan sebuah tawaran terhadap pandangan dan harapan bagi bangsa Indonesia agar dapat sejahtera. Penulis akan menuliskan sebuah komunitas negara Cordoba Spanyol yang pluralistik dari segi keagamaan dan juga mampu hidup dalam damai di antara masyarakat.

II. Belajar Dari Peradaban Masyarakat Pluralistik Cordoba yang Beradab[2]
Bagian ini berbicara tentang kekuasaan Al-Andalus pada masyarakat kota pluralistik Cordoba Spanyol berdasarkan agama-agama Abraham. Agama-agama ini mempunyai peranan yang besar bagi perkembangan manca negara dan pemikiran teologis yang berkaitan dengan agama yang misioner. Dr. Kees De Jong menjelaskan bahwa masyarakat Al-Andalus merupakan masyarakat yang majemuk. Banyak keturunan orang Romawi, orang Visgoth, orang Vandal, orang Spanyol, orang Berber, orang Arab, orang Slav yang hidup bersama-sama dan saling berdampingan. Selain itu, dari segi agama juga hidup rukun yaitu antara agama Islam, Kristen dan Yahudi. Lalu mengapa ada penerimaan dan saling menghargai di antara masyarakat? Karena ada sebuah sistem pemerintahan atau struktur yang dipimpin oleh gubernur-gubernur, Amir-amir (gelarnya diubah pada tahun 926 untuk menjadi khalifah-khalifah). Sistem tersebut tidak menerapkan otoriter kekuasaan, tetapi setiap daerah ataupun propinsi diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Jika kita melihat sistem yang ada di Indonesia, sistem tersebut sama dengan sistem otonomi daerah.
Keadaan Spanyol sebelum invasi Islam masuk, Cordoba berada pada kekuasaan kaum Visgoth. Kaum ini tidak menguasi Spanyol secara penuh karena agama yang dianut adalah aliran Kristen Arian[3] berbeda dengan masyarakat Spanyol yaitu Katolik Roma. Selain berada di bawah kekuasaan Visgoth, kekuasaan Cordoba juga berada pada kaum Aristokrat yang berdasarkan kaum elit penguasa pada waktu itu, sehingga mereka sulit memilih para prajurit. Ada jurang yang besar antara penguasa dan masyarakat. Jurang besar itu mengakibatkan banyak rakyat menderita dan hidup tidak bebas. Mereka hanya bekerja sebagai budak dan petani. Ada keputusan-keputusan sinode gereja tahun 693 yang menyatakan bahwa ada sentimen terhadap orang Yahudi, kemudian pada tahun 694 diambil keputusan bahwa apabila ada seseorang yang belum babtis katolik akan dijadikan budak.
Zaman berubah pada saat invasi Islam masuk Spanyol. Invasi Islam tersebut menuju Spanyol dan Prancis. Invasi tersebut dimulai pada tahun 630 dengan penaklukan kota Makkah oleh Nabi Muhammad. Pada tahun 717 banyak permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Cordoba karena terjadi perang Tours/Potiers pada bulan Oktober 732, banyak orang Islam diusir dari Spanyol dan Prancis. Permasalahan itu memberikan segi positif bagi kebudayaan Arab, karena pada saat itu kebudayaan tersebut telah berkembang dan dapat dipelajari oleh orang Kristen dan Yahudi, sehingga mereka dapat berbahasa Arab dan Spanyol. Hubungan antar agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dalam masyarakat Cordoba, ditulis oleh Irving yang menyatakan sebuah hubungan antar agama di Cordoba yang saling menghargai.[4]
...Bangsa Arab menunjukan toleransi yang sangat mendasar dari golongan ahli kitab, setelah penaklukan golongan orang Kristen…menikmati kebebasan sipil dengan gereja, hukum, pengadilan, hakim, uskup dan kebangsaan mereka sendiri. Penguasa Islam hanya menuntut hak untuk menyetujui pengangkatan uskup dan memanggil Dewan gereja.
Golongan Kristen di selatan yang meletakan senjata dibiarkan memiliki tanah-tanahnya, tetapi harus membayar jizjah atau pajak untuk mendapatkan hak memberi suara. Di utara mereka tetap memiliki perkebunan buah-buahan dan dapat ditanami tanaman jenis lain, kemudian mereka diwajibkan membayar kharaj…
Golongan Yahudilah yang benar-benar tertolong oleh penyerbuan Arab ini. Mereka menjadi orang merdeka dan secara aktif membantu bangsa Arab dalam memerintah Spanyol…

Abdurahman I yang disebut sebagai Abdurahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik (728-788) adalah pendiri Emirat Ummyyah di Spanyol. Bagaimana seorang pemimpin mampu mempertahankan kesatuan dan menjadi lebih maju? Pada tanggal 15 Mei 756, kebetulan hari jumat, Abdurahman menaklukan Cordoba dan mengatakan bahwa dia memplokamirkan dirinya sebagai penguasa dan dengan sungguh-sungguh berjanji akan menegakan keadilan bagi semua kelas.[5] Keadaan pada saat itu juga berubah drastis, ia membagi tiap daerah dan dipimpin oleh gubernur, ia membangun dinding tembok yang terkenal dengan ibu kota Cordoba, ia membangun masjid Agung al-Hamra di Cordoba, membangun pusat pendidikan, ia juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat dengan membuat saluran-saluran air untuk irigrasi. Oleh karena itu, banyak aspek yang berkembang dan maju, seperti hubugan agama-agama yang melahirkan masyarakat sipil (madani), ekonomi, politik, pendidikan, perdagangan dan masalah tentang moral yang berkaitan dengan persahabatan dan persaudaraan di antara masyarakat.
Sesudah berakhirnya pemerintahan Abdurahman I, banyak persaingan yang menyebabkan disintegrasi bangsa pada saat itu. Banyak pemberontak dari suku-suku Arab dan Berber yang menggoncang kesatuan pemerintahan Cordoba. Pada saat itu pemerintahan diganti oleh Abdurahman III. Dia membuat keputusan tegas di tengah gejolak disintegrasi yang terjadi dengan membuat sebuah keputusan mengenai posisi dan perannya dengan sebutan Khalifah (pembela agama Allah). Peran tersebut membuat adanya benteng yang kuat terhadap pemerintahan yang dipegang oleh Abdurahman III. Melalui posisi perannya yang teratas di Ummayah Spanyol, ia mampu menyelamatkan Andalusia dari serbuan suku-suku atau agama lain. Ia juga memperbaiki sistem ekonomi yang kacau balau menjadi lebih tertata dan baik, dia memperkuat benteng pertahanan dari ancaman luar sehingga keamanan masyarakat menjadi kondusif. Pemerintahan yang khas pada masanya adalah tidak adanya perbedaan dalam pembagian peran kekuasaan pemerintahan baik orang Islam, Kristen maupun Yahudi. Semua bisa dan boleh menjadi pemimpin ataupun gubernur di setiap wilayah atau daerah. Sistem pertahanan yang kuat berasal dari kesatuan antara suku Berber, Slav, dan orang Spanyol yang dulunya adalah budak yang diperalat oleh kekuasaan sebelumnya.

III. Tanggapan dan Analisa
Dari ringkasan sejarah Cordoba tersebut, bagaimanakah dengan bangsa Indonesia yang merupakan masyarakat pluralistik yang beradab dan berdasarkan sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab? Akankah Indonesia menjadi Negara yang damai, adil dan sejahtera di tengah modernitas dan kemajuan zaman ini? Terlebih lagi menghadapi kasus Amrozi dkk. Dari sinilah, kami penulis menawarkan beberapa hal berkaitan dengan pandangan akan pluralistik agama, HAM dan peran gereja, negara maupun masyarakat sendiri terhadap gentingnya kasus Amrozi dkk.

A) Pluralistik Agama dan Hak Asasi Manusia
Sejarah Indonesia telah membuktikan betapa sulitnya suatu hal mengacu pada pluralistik. Banyak keraguan yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Kita dapat mengetahui pada pemerintahan Presiden Soekarno, unsur komunis diperbolehkan pada pemilihan umum. Pada pemerintahan Presiden Soeharto, akhirnya berdampak pada G30/S PKI sehingga komunis dilarang keras masuk Indonesia. Ketika tumbangnya orde baru, banyak golongan dan aspirasi rakyat yang muncul untuk berjuang menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih baik, seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempuk (FBR), dll.
Banyak golongan dan daerah yang ingin menjadikan bangsa Indonesia menjadi Negara theokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Ini merupakan suatu tatanan yang diterapkan oleh Negara Indonesia, tetapi apakah hukum tersebut relevan dan masih berlaku dalam kemajemukan yang terjadi di Indonesia? Penulis menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat mutlak antara masyarakat Cordoba dengan masyarakat Indonesia. Pada satu sisi, memang dikatakan berbeda, tetapi motivasi perbedaan tersebut patut dipertanyakan. Pemimpin Cordoba menerapkan hukum theokrasi, namun bukan berarti menjadikan agama yang lain untuk memeluk agama Islam. Selain itu, adanya motivasi yang menganggap agamaku yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain, membuat adanya perbedaan yang berujung pada perpecahan.
Golongan atau agama yang berjuang dengan memperbaiki bangsa Indonesia menjadi lebih baik merupakan kewajiban asasi golongan maupun agama sebagai bangsa Indonesia, namun, bukanlah hak yang didasarkan atas kemanusiaan. Faktor yang menentukan persatuan adalah wujud kemanusiaan yang kongkret dalam kehidupan manusia. Prof Mohammed Arkoun mengatakan bahwa Islam akan meraih kejayaan jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapapun.[6] Negara Arab pun sebenarnya sudah belajar akan pemikiran humanisme yaitu sekitar abad ke 10, Istilah yang dipakai adalah Munadharah.
Dr. Kees De Jong mengatakan bahwa peraturan-peraturan pemerintah Indonesia kadang-kadang lebih mengganggu hubungan harmonis antara agama dari pada mendorong hubungan antara agama yang baik. Ini memang kenyataan yang ada di Indonesia. Kita terlalu memberikan perspektif personal agama yang diungkapkan dalam tatanan pemerintah, sehingga perpektif universal tidak ada. Orang cenderung mempunyai motivasi yang bersifat golongan (kepentingan pribadi) daripada kepentingan yang bersifat kemanusiaan (universal). Ini membuat adanya ketidakharmonisan bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Penulis mempertegas kembali bahwa hal ini pula akan menghambat hak asasi manusia yang paling hakiki.

B) Peran Agama, Negara dan masyarakat di Indonesia
Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia bersifat multireligius. Tentunya, masyarakat perlu menempatkan prinsip-prinsip keagamaannya dalam sebuah relasi yang benar antara Negara maupun agama. Setiap agama yang dianut oleh masyarakat pastinya mempunyai nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum. Sejatinya, nilai dan norma tersebut memberi dasar dan orientasi bagi kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk. Namun, bukan berarti Negara Indonesia harus hidup berdasarkan agama, melainkan berdasarkan pada aplikasi praktis agama dalam bidang kemasyarakatan. Bukan ajaran/dogma dari setiap agama, melainkan nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum tersebut.[7]
Masyarakat Indonesia kadang-kadang masih mempunyai konsepsi pemahaman akan sebuah mitos yang telah membudaya dengan begitu kuat. Tetapi setelah perkembangan yang membuktikan bahwa kekuasaan religius tidak mampu menyejahterakan manusia, maka lahirlah suatu pemikiran yang lebih bersifat humanis. Banyak perkembangan yang maju di dalam masyarakat. Bagaiamana posisi kekuasaan dan masyarakat yang bersifat tradisional di transformasi menjadi yang lebih baik berdasarkan daya pikir dan intelektual manusia. Pemahaman ini tetap saja ada di masyarakat Yogyakarta, bagaimana menganggap Sri sultan Hamengku Buwono adalah titisan Ilahi, tetapi masyarakat tetap mempunyai pemikiran yang tidak hanya bersifat mitos saja, tetapi juga realistis.
Mayarakat yang baru mengganti corak tradisional tersebut dapat berjalan dengan efektif dan baik apabila berpartisipati aktif di tengah kemajemukan yang ada di dalam Negara dan bangsa. Masyarakat yang mempunyai kontribusi dengan keyakinan dan dedikasi yang tulus, serta masyarakat yang partisipatoris dan sejahtera secara umum tidak bergantung pada dogma atau ajaran, tetapi bergantung pada moral dan kebajikan para anggota masyarakat.[8] Ini merupakan suatu kepercayaan baik dari diri masyarakat sendiri yang mempunyai keinginan kuat untuk maju dan lebih baik, tetapi juga kepercayaan yang diberikan kepada penguasa untuk mewujudkan aspirasi rakyat dan masyarakat sekitar, sehingga kepercayaan yang tidak hanya internal, tetapi juga eksternal. Masyarakat atau suatu komunitas diperlukan penghormatan dan penghargaan di dalam penerimaan diri akan suatu kemajemukan bangsa yang berbeda-beda, sehingga aspek-aspek dogmatis atau ajaran yang bersifat eksklusif tidak relevan di dalam kemajemukan ini, tetapi aspek penghayatan akan spiritualitas yang menjadi langkah pijak di dalam menjadi relasi kebersamaan beragama. Oleh karena itu, rasa keterbukaan antara masyarakat menjadi suatu awal yang baik membangun korelasi hidup beragama. Penulis menyadari bahwa masyarakat Indonesia sudah banyak belajar pluralitas sejak dahulu kala. Hal ini terbukti dengan dengan pendirian candi prambanan (hindu) dan di sampingnya terdapat candi yang berasal atau bersumber dari agama budha. Ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia sudah banyak belajar akan pluralitas dan kemajemukan.
Dalam diri Negara Indonesia pun terdapat asas dasar Negara yaitu pancasila yang dapat dijadikan sebagai “pandangan dunia” yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia apapun agamanya. Tentunya, dari sinilah, negara Indonesia perlu melihat kembali dasar negaranya agar dapat saling menghormati dan melindungi ikatan religius warganya. Negara berdasarkan atas pancasila,. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti tidak mengakui suatu agama sebagai agama Negara. Bukan Negara yang percaya kepada Allah, melainkan warga Negara sesuai dengan nilai, norma, etis, moral dan hukum. Sila ini juga mempunyai implikasi yang bersifat sosial, artinya bagaimana masyarakat mampu menghormati setiap pemeluk agama lain.
Jika kita mengingat kembali peristiwa 11 September 2001, bagaimana gedung WTC di New York Amerika Serikat hancur. Hal ini mengakibatkan sebuah wacana tentang pandangan Islam yang negatif. Suatu agama yang lahir dan dipersepsikan sebagai agama yang melahirkan kekerasan dan terorisme.[9] Tetapi apakah ini merupakan suatu perubahan dan paradigma mengenai agama Islam secara menyeluruh? Jika hal ini benar-benar terjadi maka peran utama agama Islam bukan lagi sebagai sumber moral dan pencerahan hidup, melainkan semata sebagai alat legitimasi politik dan sarana mobilisasi masa yang biasanya mengabdi pada kepentingan kekuasaan dan akumulasi kapital.[10] Di sini, agama menjadi sebuah alat yang digunakan oleh penguasa kekuasaan untuk mencapai sebuah kepentingan politik.
Prof. Dr. Olaf Schuman mengatakan bahwa kerukunan beragama bukanlah tujuan akhir, sebab misi agama bukan semata menjalin kerukunan dan perdamaian semata, melainkan untuk untuk memberikan pelayanan pada umat manusia agar tumbuh menjadi hamba-hamba Tuhan yang baik. Perkataan ini menunjukan bahwa otoritas yang Ilahilah yang menjadi dasar manusia berpijak dan menjalin relasi dengan manusia dan dunia. Bagaimana kehidupan manusia yang lebih berwatak dan bermartabat sesuai dengan dasar-dasar kebangsaan? Ideal yang dikatakan oleh Olaf Schman adalah umat beragama mestinya menjadi tiang penyangga persatuan bangsa dan pemberi solusi atas problem-problem sosial yang muncul (problem solver), bukannya malah menjadi komunitas yang justru menimbulkan sumber masalah bangsa (problem maker). Konteks kehidupan bangsa Indonesia tidak akan pernah terlepas dengan pluralitas.
Jika kita mengingat kembali GBHN 1988, pemerintah RI menghimbau agar agama-agama lebih giat menegakan kaidah-kaidah yang menolong mengembangkan segi moral, etika dan spiritual dalam kehidupan bangsa.[11] Hal ini tidak terjadi dalam realita karena negara sendiri seakan-akan menghambat relasi dalam keberagaman bersama agama lain. Seperti misalnya kita mengetahui akhir-akhir ini mengenai UU pornografi dan porno aksi, serta UU pernikahan beda agama. Hal ini mengakibatkan bahwa kebijakan dan peraturan Negara atau penguasa tidak membuat kesejahteraan masyarakat, tetapi perpecahan. Jika kita melihat pemerintahan masyarakat cordoba, maka untuk itu beberapa hal yang dapat digali menurut Eddy Kristiyanto adalah bagaimana di dalam kehidupan manusia, agama dapat memberikan penilaian moral di bidang politik, agama menggunakan upaya-upaya duniawi seraya mempertahankan keutuhan kesaksian injil, agama dan negara harus melayani panggilan manusia, agama dan Negara perlu menciptakan kerjasama yang sehat serta agama menghargai mereka yang memperjuangkan kesejahteraan umum.[12]
Dari seluruh pembahasan di atas, dengan melihat kembali tugas dan kewajiban Negara sebagai Negara pancasila, maka kebijakan dan keputusan atas kasus terpidana mati Amrozi dkk tersebut sudahlah tepat. Bagaimana mungkin Negara dapat menyejahterahkan masyarakat jika oknum atau tokoh yang membuat “resah” di sebagian besar kalangan masyarakat tidak dimusnahkan? Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan hukum. Tentunya, bersikap setimpal dengan kesalahan yang diperbuatnya. Meskipun agama melihat dari sisi kemanusiaannya, pasti juga mempunyai perasaan yang tidak rela adanya seorang manusia yang dihukum mati. Kita juga tidak melepaskan konteks ini dengan hak asasi manusia bahwa manusia membutuhkan adanya hidup yang damai dan tentram. Jika Amrozi tidak dihukum mati maka asumsinya akan muncul kembali bom kesekian kalinya. Namun bukan berarti setelah terpidana matinya Amrozi, Negara Indonesia menjadi aman dan sejahtera. Justru akan banyak misteri yang timbul karena memang adanya kontroversi terhadap kasus eksekusi tersebut. Tidak begitu saja masyarakat menjadi tentram, tetapi masyarakat harus lebih waspada terhadap serangan yang akan muncul. Di sini diperlukan tugas Negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti penjelasan di awal bahwa masyarakat itu multireligius, tentu saja multi ideologi. Maka tidaklah aneh jika asumsi “penindasan” terhadap orang Kristen (Amerika) akan terwujud, namun pemikiran dan ideologi tersebut tidaklah bijaksana.

IV. REFLEKSI TEOLOGIS
Gereja yang menjadi bagian dalam tugas dan tanggung jawab untuk menghadirkan syalom sebaiknya perlu meninjau ulang berdasarkan konteks dimana berada. Prof. Olaf H. Schumann mengatakan bahwa gereja dan orang beriman bersifat relasional dan berhubungan. Oleh karena itu, kita tidak hidup bagi diri sendiri, iman Kristen kita pun tidak berlaku bagi diri sendiri. Pemahaman ini tidak hanya bersifat eksklusif, tetapi bersifat inklusif dan pluralis. Artinya, gereja mengakui bahwa dia hidup di dalam dunia yang beragam dan majemuk. Suatu keadaan yang didasarkan pada pemahaman sosilogis yang berkaitan dengan makhluk sosial yang tidak akan pernah terlepas dengan orang lain.
Banyak permasalahan agama yang berujung kepada kekerasan menjadi sentimen akan pemeluk beragama. Hal ini mempengaruhi implikasi praktis suatu telogi atau instruksi rohani untuk mengatakan akan pembalasan dendam karena adanya kontruksi teologis yang salah dan tidak relevan. Dari Ambon malah diberitakan ucapan pendeta dan imam yang sama-sama mengatakan penangguhan nilai, norma moral dan etika Kristen maupun Islam: yang berlaku sekarang adalah hukum balas dendam.[13] Kontruksi teologis ini mengistilahkan adanya gambaran api berperang melawan api dan tentunya api yang menang dan bukannya rekonsiliasi perdamaian.
Kontruksi teologis yang berkaitan dengan keperbedaan dan kemajemukan berkaitan dengan misi gereja juga perlu ditinjau ulang dalam rangka menciptakan teologi yang komprenhensif bagi masyarakat secara luas. Kita mendengar bahwa satu tahun yang lalu ada acara Kristen di Yogyakarta besar-besaran yang diprotes oleh pihak militan Islam.[14] Bernard Adeney Risakotta mengatakan bahwa persoalannya bukan bagaimana memahami sesuatu yang mutlak benar, melainkan bagaimana kita bertindak (praxis) dalam konteks nyata supaya kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan sekaligus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Misi gereja selalu dikaitkan dengan injil Matius pasal 28: 19-20 yang berbunyi, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ayat-ayat ini sering disebut sebagai “Amanat Agung” (the Great Commision). Hal ini mengandung sesuatu yang kontradiksi dengan Matius 22:37-39 yang berkaitan dengan hukum terutama dan yang pertama. Oleh karena itu, bagaimana misi tersebut dilakukan dalam konteks yang tepat yang plural dalam kemajemukan di Indonesia. Kita harus mengetahui konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi di Indonesia dan bukannya konteks Palestina pada abad pertama, karena kita sering kali mengedapankan dogma yang bisa membuat terbenturnya dengan kondisi masyarakat lainnya. Oleh Karena itu, jangan merasa kaget apabila selama berabad-abad terjadi berbagai persaingan, ketegangan, diskriminasi, penindasan, perang saudara dan pembantaian yang terkait dengan persoalan agama.
Metode-metode misi gereja diperlukan suatu pendekatan yang berkaitan dengan aspek kontekstual masyarakat. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa kita perlu berteologi secara kontekstual di dalam membangun relasi antara agama-agama, sehingga tercipta keharmonisan. Banyak tafsiran alkitab yang kadang-kadang asal comot ayat dan tidak memperhatikan dalam kontek saat itu. Kita berteologi dalam masa kini dengan memperhatikan konteks memang di perlukan, tetapi konteks alkitab jaman dulu juga harus diperhatikan, sehingga ayat tersebut mempunyai dasar biblis yang kuat dan tidak hanya asal dicomot. Kita sering mendengar Yohanes 14 : 6 yang mengatakan bahwa Agama Kristen lebih unggul dengan agama lain. Ayat tersebut berbunyi “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” Konteks tersebut sebenarnya tidak berbicara mengenai misi, tetapi berbicara akan suatu pergumulan konteks sosial dan politik bahwa sistem penguasa yang kuat membuat masyarakat tidak bisa memilih kehidupan yang benar, sehingga Yesus mengatakan ayat tersebut. Bagaimana orang-orang miskin dan tidak berdaya menjadi bergumul akan pilihan kehidupan yang tidak bisa apa-apa karena penindasan dari golongan penguasa. Sejatinya, bahwa gereja mempunyai misi yang menghadirkan syalom yang sesungguhnya dan bukannya perpecahan dan disintegrasi bangsa.
Kita dapat belajar dari masyarakat Cordoba bahwa seorang pemimpin mampu memplokamirkan diri dan berjanji untuk menyejahterakan masyarakat, padahal corak pemerintahannya adalah teokrasi, sedangkan Indonesia yang bersorak sistem republik dan berasaskan Pancasila sangat sulit untuk menciptakan keharmonisan. Terkadang pemimpin masih memikirkan kepentingan pribadi.
Sejatinya, gereja mempunyai misi menghadirkan syalom dan bukannya perpecahan maupun disintegrasi bangsa. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih memberikan suatu konsep yang diambil dari teolog Katolik John S. Dunne yaitu “passing over and coming back”.[15] Bagaimana kita terbuka terhadap agama lain dan berupaya untuk belajar juga pada agama lain sehingga ada suatu koneksi dan korelasi antara keduanya, serta dalam konteks tidak hanya wacana, tetapi ada suatu penghayatan spiritualitas yang memampukan manusia untuk hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk itu, sebagai orang Kristen diperlukan sebuah keterbukaan untuk mau menerima kritik dan tidak hanya eksklusif dimana pun berada.
V. PENUTUP
Akhirnya, kekuatiran terhadap asumsi negatif akibat terjadinya eksekusi mati Amrozi dkk perlulah ditipiskan. Inilah, sebuah tawaran bagi agama, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menuju kesejahteraan dan kedamaian yang sejati.
DAFTAR PUSTAKA

De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008.
Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
[1] Siaran Metro TV pada tanggal 26 Oktober 2008 pukul 18.00
[2] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
[3] Aliran yang menganggap Yesus sebagai manusia.
[4] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 6
[5] Ibid Hal 7
[6] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 21
[7] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 200 hal 72-82
[8] Ibid hal 53
[9] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal XII
[10] Ibid Hal xiii
[11] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal 22
[12] Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008. hlm.141-142
[13] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004 hal 126
[14] Acara KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di sertai dengan kuasa penyembuhan itu di adakan di Stadion Mandala Krida Yogyakarta dengan pendeta yang berasal dari Kanada.
[15] Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 hal 157