DUNIA REMAJA YANG KONTEMPORER
Suatu Tinjauan Pendidikan Kristiani di Komisi Remaja GKI Gejayan Yogyakrta
I. PENDAHULUAN
Yogyakarta merupakan kota yang unik dan khas di Indonesia. Banyak orang yang berbondong-bondong untuk belajar mengembangkan ilmu di kota gudeg ini, tetapi banyak juga orang yang terjerumus dengan pola pergaulan yang berkembang dalam masyarakat. Ada remaja yang berhasil dan sukses, tetapi juga ada banyak remaja yang gagal karena terpengaruh kehidupan pergaulan di kota ini. Kita melihat dan mengetahui bahwa kota Yogyakarta mempunyai dua sisi budaya yang berbeda. Di satu sisi budaya populer berkembang dengan dahsyat dan hebat, tetapi di sisi yang lain budaya tradisional telah semakin surut dan ditinggalkan.
Kita juga mengetahui bahwa budaya modern yang berkembang di Yogyakarta ini sangat pesat. Banyak mall, restoran dan tempat diskotik berdiri dengan megah, tetapi di sisi lain, budaya tradisional juga mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, seperti adat keraton Jawa dan banyak warisan budaya lokal yang berkembang di Yogyakarta. Remaja pada umumnya atau para kawula muda yang tengah gelisah membangun harapan, menjalin cinta, cita, pengertian, dan identitas dalam sebuah dunia remaja yang sebagian besar sudah diintervensi oleh logika kapitalisme, logika pasar industri hiburan.[1] Apakah ini ini berarti telah terjadi suatu dikotomi (pemisahan) di dalam budaya masyarakat Yogyakarta sendiri? Menurut saya, tidak sepenuhnya seperti itu. Justru kebudayaan lokal itu menjadi filter untuk menghadapi dunia yang kontemporer tersebut, karena kebudayaan modern itu telah masuk dan tidak dapat dibendung, selain itu terkait dengan kapitalisme yang mempengaruhi sistem ekonomi yang besar, di lain pihak gereja juga jangan sampai memberhalakan budaya tradisional dengan begitu hebatnya. Sejatinya, gereja perlu berteologi secara kontekstual terhadap problem yang berkembang, khususnya di masyarakat Yogyakarta ini.
Dunia remaja merupakan masa pertumbuhan yang penting dan vital di dalam perkembangan regenerasi gereja. Remaja berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya tumbuh menjadi dewasa. Penggunaan kata remaja dewasa ini sudah berkembang menjadi bertumbuh dewasa untuk mencapai kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.[2] Bagaimana gereja mempunyai peran untuk ikut serta mewujudkan pembinaan kepada remaja yang holistik ini? Banyak remaja yang terpengaruh oleh kehidupan kontemporer masa kini sehingga pembinaan iman seperti yang berkaitan dengan dunia mereka.
Dari sinilah, penulis menjadikan tinjauan untuk memberikan kaitan antara pendidikan Kristiani yang kreatif dan komprenhensif di dalam pembinaan remaja. Sejatinya, peran serta untuk perkembangan iman dan pencarian jati diri tidak hanya sepenuhnya menjadi tanggung jawab gereja dan keluarga saja, tetapi seluruh aspek kehidupan ikut mempengaruhi di dalamnya. Selain itu, Yogyakarta merupakan kota urban di Indonesia ini. Hal ini mengakibatkan banyak remaja datang untuk mencari ilmu di kota ini. Konteks Yogyakarta tersebut membuat tantangan dan tugas gereja untuk menciptakan pembinaan yang holistik. Apakah gereja mampu mengembangkan pembinaan yang tidak berkesinambungan, artinya pembinaan yang ditujukan kepada jemaat simpatisan? Apakah gereja memikirkan hal ini dan hidup ditengah konteks sosial ini? Selain itu, penulis juga akan memberikan jurnal tentang kegiatan selama berjemaat di komisi remaja GKI Gejayan.
II. ISI
A) Konteks Remaja GKI Gejayan
Banyak hal yang mempengaruhi remaja GKI Gejayan. Perkembangan pendidikan dan teknologi menciptakan suatu budaya yang berkembang di tengah remaja itu sendiri. Hal ini terbukti dengan penggunaan slide dan alat musik yang canggih. Budaya yang kontemporer mengakibatkan banyak ide dan pemikiran yang mengarah ke dunia yang bersifat modern. Pola pikir yang diterima adalah pola pikir yang ditawarkan oleh budaya konsumerisme yang berkembang di tengah kota Yogyakarta ini. Banyak remaja yang sering nongkrong di mall Yoyakarta dan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melepaskan kelelahan kegiatan yang dilakukan.
Yogyakarta juga terkenal dan identik dengan pluralisme yang kental di Indonesia ini. Ada sekolah-sekolah yang tidak menekankan dengan dogma atau ajaran gereja, tetapi pelajaran agama tersebut diganti dengan pelajaran religiositas.[3] Mereka menyadari bahwa di dalam setiap kehidupan tidak akan pernah terlepas dari keberadaan orang lain. Tetapi juga ada beberapa gereja yang bersifat ekslusif dalam membina remajanya. Hal ini mengakibatkan remaja menjadi berpusat kepada kelompok pribadinya saja, tetapi tidak mau bergaul dengan agama yang berbeda. Ada seruan atau semboyan yang sering dikatakan oleh umat Islam yaitu Islam yes, kafir no. Ini mengakibatkan adanya paradigma yang negatif di dalam pergaulan bersama dengan agama lain. Sehingga jarang ada remaja GKI Gejayan yang menceritakan kelompok temannya yang berbeda agama dengannya.
Pergaulan juga mempengaruhi perkembangan pembinaan remaja GKI Gejayan. Pergaulan di sekolah dan di masyarakat menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan oleh gereja. Kita juga mengetahui bahwa Yogyakarta juga mempunyai kompleks pelacuran yang cukup terkenal di kalangan masyarakat kota Yogyakarta sendiri, maupun di masyarakat lain. Ini mengakibatkan adanya keadaan gejala sosial yang besar yang mempengaruhi aspek psikologis dari remaja itu sendiri, sehingga budaya tradisional yang berkembang di masyarakat menjadi pudar dan hilang. Inilah permasalahan yang besar di dalam konteks remaja di kota Yogyakarta. Permasalahan yang berkaitan budaya yang berkembang di masyarakat dan juga pengaruh urban yang mengakibatkan adanya asumsi bahwa pembinaan tidak berjalan dengan efektif. Kedua hal ini menjadi dasar untuk berpijak ke dalam pembinan yang tepat, efektif dan komprenhensif yang dilakukan di Yogyakarta ini.
B) Praxis Tentang Jurnal Keterlibatan di Komisi Remaja GKI Gejayan
Selama satu semester di tahun 2008 ini, saya mengikuti mata kuliah Pendidikan Kristiani Remaja yang diampu oleh Pdt. Tabita Kartika Christiani yang mewajibkan mahasiswa untuk terlibat dan aktif di komisi remaja di Yogyakarta ini. Sebelum kuliah ini, saya sudah aktif di komisi remaja GKI Gejayan. Keterlibatan di jemaat ini merupakan suatu pelajaran berharga yang didapat untuk bekal menjadi seorang hamba Tuhan atau pendeta. Pengenalan dan keterlibatan kepada gereja akan menolong mahasiswa untuk lebih mempersiapkan diri memenuhi tugas dan tanggung jawab pemberitaan firman Allah. Saya memilih komisi remaja karena ada faktor-faktor dan latar belakang yang penting, diantaranya sebagai berikut:
· Banyak pendeta yang merasakan kesulitan dalam membina komisi remaja karena masa remaja merupakan suatu masa pertumbuhan menuju kedewasaan yang matang. Saya berpikir bahwa apabila pendeta mampu memberi pembinaan dan mengarahkan para remaja menjadi lebih baik, maka pendeta tersebut sudah memenuhi tugas dalam mengembangkan jemaatnya. Hal ini penting karena kegagalan dalam membimbing dan membina para remaja berdampak pada regenerasi pertumbuhan gereja. Pdt. Paulus Lie sebagai pendeta jemaat di GKI Gejayan mengatakan bahwa pergumulan aktual yang dihadapi gereja adalah keterkaitan antara pembinaan kategori usia yang terkesan kurang atau bahkan tidak ada.[4] Oleh karena itu, seperti pembentukan iman, spiritualitas dan ajaran perlu dikembangkan sesuai dengan dunia pola pikir remaja.
· Saya tertantang untuk mengembangkan pembinaan yang sesuai dengan konteks dunia remaja. Banyak tema yang terlalu berat dan tidak sesuai dengan remaja dan hal ini menyebabkan remaja menjadi bosan dan malas untuk pergi ke gereja. Tema-tema yang diberikan seharusnya dipertimbangkan untuk kepentingan cakupan umur remaja. Mungkin juga ada beberapa tema yang didasarkan pada pola pikir remaja, tetapi pengolahan dan penyampaian materi pembinaan kurang mengena bagi remaja. Ini berkaitan dengan skill atau kemampuan dalam penyampaian atau pembawaan diri (homiletika).
· Saya tertarik untuk berteologi secara kontekstual di komisi remaja. Banyak pembina kategorial yang terlalu mengembangkan teologi dogmatik. Hal ini mengakibatkan remaja hanya berpikir benar dan salah (berkaitan dengan moral). Bukan berarti hal ini tidaklah penting, tetapi saya ingin mengajak remaja untuk berpikir, merasakan sendiri kehadiran Tuhan, serta mengembangkan kreatifitas dalam berteologi seperti liturgi ibadah, sharing dan pelayanan sosial maupun eksternal serta memperhatikan pergumulan dalam keluarga, sekolah, bangsa dan Negara. Kreatifitas berteologi ini kurang diberi penekanan yang mendalam, padahal permasalahan remaja yang cukup kompleks adalah pergaulan di keluarga ataupun di sekolah. Perbedaan menghadapi kemajemukan dan pluralitas di Negara Indonesia, khususnya di kota Yogyakarta adalah permasalahan yang akhir-akhir ini menjadi permasalahan bangsa. Oleh karena itu, saya akan memaparkan hasil pengamatan, kegiatan dan pergumulan yang dihadapi oleh remaja GKI Gejayan dengan mengkaitkan kepada Pendidikan Kristiani remaja. Bagaimana teori dan praxis saling melengkapi demi adanya pembinaan yang tepat dan komprenhensif sesuai dengan konteks dunia remaja dan budaya masyarakat Yogyakarta.
C) Pendidikan Kristiani Komisi Remaja GKI Gejayan
Menurut Jack L. Seymour, pendekatan dalam Pendidikan Kristiani di bagi menjadi empat bagian, yaitu Pendekatan Instruksional, Pendekatan Perkembangan Spiritual, Pendekatan Komunitas Iman dan Pendekatan Transformasi[5]. Pendekatan-pendekatan ini mempunyai penekanan yang berbeda-beda. Penekanan perbedaan tersebut nampak dalam tujuan, peran guru, peran naradidik, proses pembelajaran, konteks, dan implikasi pelayanan. Setiap pendekatan mempunyai arah dan tujuan masing-masing. Pendekatan tersebut hanya merupakan sarana metode untuk mencapai pemahaman tentang konsep Pendidikan Kristiani, karena pemahaman konsep Pendidikan Kristiani adalah percakapan untuk kehidupan, melihat dengan menggunakan sumber iman dan tradisi budaya untuk bergerak di dalam masa depan keadilan dan harapan. Konsep ini terlihat adanya suatu kontinuitas yang selalu bergerak dari waktu ke waktu. Oleh karena itu pendekatan diperlukan di dalam Pendidikan Kristiani.
Saya melihat relasi antara pendekatan tersebut dengan Komisi Remaja GKI Gejayan. Di antaranya terlihat adanya visi komisi remaja GKI Gejayan periode 2008-2009 yaitu Menuju Tubuh Kristus yang Aktif, Kreatif dan Profesional. Visi ini memperlihatkan bahwa komisi remaja GKI Gejayan menggunakan Pendekatan Instruksional karena di dalam tujuannya dikatakan bahwa nara didik dimampukan untuk berakar di dalam iman alkitab dan membuat hubungan antara isi dari iman dan kehidupan. Iman yang alkitabiah adalah suatu dasar yang menjadi pegangan remaja di dalam menjalani kehidupan. Kehidupan direfleksikan berdasarkan dengan iman yang alkitabiah, sehingga remaja mempunyai kehidupan yang tercermin melalui dasar-dasar firman Tuhan. Remaja yang mencerminkan tubuh Kristus yang siap dipakai untuk melayani dengan sebaik-baiknya. Visi komisi remaja GKI Gejayan sangat alkitabiah dan menjadi tolak ukur untuk bertumbuh dan mengenal Kristus. Saya melihat bahwa visi tersebut memampukan nara didik untuk bertumbuh dan melayani di gereja. Program-program remaja pun berkaitan dengan pelayanan yang melibatkan naradidik untuk aktif di gereja, seperti persekutuan, kebaktian, persiapan liturgos dan pemusik kebaktian. Pengurus berusaha mencari rekan-rekan untuk mau bergabung di dalam keterlibatan pelayanan remaja.
Di dalam pendekatan Instruksional, guru merupakan seorang rekan kerja dengan nara didik di dalam membangun ruang dan proses pembelajaran.[6] Saya melihat bahwa guru sebagai rekan kerja tersebut merupakan suatu jalinan relasi yang tidak hanya satu arah, tetapi dua arah. Hubungan antara guru dan naradidik harus berjalan dengan baik. Kita melihat bahwa meskipun materi pembinaan disampaikan kepada naradidik masih bersifat asing, tetapi guru berusaha untuk menyampaikan secara komunikatif dan membuat adanya hubungan yang bersifat kekeluargaan. Selain itu, guru ini tidak hanya dimengerti sebagai pemimpin atau pembawa firman saja, tetapi juga kakak-kakak pembimbing. Saya juga melihat bahwa program remaja di GKI Gejayan ada yang disebut KTB (Kelompok Tumbuh Bersama). Pertumbuhan iman ini merupakan unsur dalam pendekatan Komunitas Iman, tetapi kenyataannya tidak demikian. Karena pendekatan Komunitas Iman melakukan proses pembelajaran dengan pelayanan, refleksi dan aksi dengan implikasi adanya suatu komunitas yang menjangkau keluar[7]. Kelompok sel (KTB) yang diamati hanya suatu komunitas doa, firman dan sebatas hanya sharing yang bersifat pribadi, oleh karena itu, saya melihat bahwa unsur pendekatan Komunitas Iman nampak, tetapi belumlah sempurna. Peran kakak-kakak pembimbing adalah rekan yang hangat dan sumber informasi bagi remaja, sehingga saya lebih menggolongkan ke dalam Pendekatan Instruksional.
Proses pembelajaran di dalam Pendekatan Instruksional nampak di dalam bahan materi Komisi Remaja GKI Gejayan. Bahan tersebut menggunakan Derap Remaja. Tema-tema yang di angkat seperti, mamonisme, narsisme, kekerasan, dan narkoba no way merupakan suatu tema yang sangat dekat dengan kehidupan remaja. Remaja diajak untuk merefleksikan dan memahami di dalam kehidupan dan dunianya. Oleh karena itu, berdasarkan proses pembelajaran di dalam Pendekatan Instruksional yang membuat adanya refleksi teologi yang terjadi di dalam mengetahui, menginterprtasikan kehidupan dan melakukan iman. Remaja diajak untuk merefleksikan atas segala dunia yang sekarang berkembang dan memasuki dunianya. Di sini menjadi nampak bahwa Pendekatan Instrusional adalah suatu pendekatan yang berusaha mengajak naradidik untuk mengetahui, merefleksikan dan terlebih lagi melakukan iman yang sesuai dengan dasar alkitabiah.
D) Pembinaan Remaja GKI Gejayan
Pembinaan yang tepat dan komprenhensif haruslah melihat konteks di mana gereja itu berada. Konteks yang berhubungan dengan remaja GKI Gejayan adalah berkaian dengan pergaulan budaya populer, masyarakat urban dan dipengaruhi oleh setting sosial yang pluralistik. Kita melihat bahwa masing-masing konteks tersebut mempengaruhi di dalam pembinaan pertumbuhan remaja yang holistik. Langkah awal yang perlu dalam pembinaan adalah adanya persepsi mengenai siapa orang muda tersebut. Persepsi kita tentang “siapa orang muda” akan membentuk pandangan kita tentang hakikat pembinaan dan selanjutnya menentukan sikap dan cara pendekatan kita.[8] Banyak persepsi yang negatif yang sering diterima oleh remaja dan pemuda, di antaranya adalah remaja masih belum bisa mandiri, bersikap apatis, masa bodoh dan sering kali acuh tak acuh di dalam menanggapi persoalan kehidupan atau kemasyarakatan. Persepsi yang positif membuat adanya visi yang jelas dan mengarah ke depan menjadi lebih baik.
Remaja sebenarnya mempunyai potensi yang positif mengenai kehidupan yang lebih baik. Sejarah reformasi 1998, remaja dan pemuda mempunyai ciri-ciri potensi yaitu dinamis, berorientasi masa depan, terbuka, kreatif dan empatik.[9] Ciri-ciri ini menunjukan bahwa remaja dan pemuda mempunyai revolusi kesadaran yang mempunyai visi dan misi jauh kedepan. Peran remaja dan pemuda yang mendobrak status quo demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Saya melihat bahwa remaja GKI Gejayan kurang diberi perhatian mengenai kehidupan politik dan bermasyarakat, sehingga revolusi kesadaran tersebut tidak tercipta, sehingga remaja hanya berpikir mengenai kesenangan pribadi atau pergaulan yang hanya menyangkut individu dan tidak melihat pergumulan masyarakat yang besar, seperti krisis global atau ekonomi. Remaja sebenarnya mampu berpikir hipotetis dan abstrak, tetapi daya kritis dan motivasi tersebut tidak di berikan mulai sejak dini atau di dalam pembinaan remaja. Remaja perlu melihat gejala sosial dan politik disekitarnya, seperti korupsi, kemiskinan dan keadilan, sehingga daya imajinasi tersebut mampu mendorong untuk menciptakan kemauan untuk sadar dan peka akan kehidupan masyarakat.
Persepesi mengenai pembinaan menjadi fokus dan arah untuk menciptakan segala pengajaran yang baik. Kita memahami pembinaan sebagai perwujudan keprihatinan gereja pada orang muda sebagai the churchmen of today. Hal-hal yang perlu di hindari adalah pemanjaan orang muda, penggiringan orang muda dan peremehan orang muda.[10] Oleh karena itu, remaja tidak menjadi hilang semangat untuk mencari potensi diri untuk menjadi lebih baik. Masalah berkaitan dengan pergaulan dan hidup dengan budaya popular lebih dilihat sebagai fungsional dan tidak mengganggu akan moralitas yang menjadi remaja jatuh akan dunia konformisme (budaya ikut-ikutan). Semangat, pemberian kepercayaan diri dan penghargaan diri kepada remaja akan memberikan dorongan yang besar kepada remaja. Oleh karena itu, kesadaran yang revolusioner akan tercipta di dalam perkembangan dan pertumbuhan remaja.
Konteks yang berkaitan dengan masyarakat urban juga menjadi permasalahan yang penting di dalam pembinaan remaja. Remaja merupakan masa mencari jati diri dan identitas diri, tetapi di sisi lain remaja GKI Gejayan adalah berasal dari luar daerah Yogyakarta yang sedang mencari ilmu di kota gudeg ini. Pembinaan yang efektif berkaitan dengan jemaat simpatisan ini adalah belajar dari makna hidup Taize. Banyak orang muda yang berbondong-bondong untuk mencari misteri yang abadi. Di dalam komunitas Taize dapat menemukan ilham dan teladan dan bukannya tabu-tabu dan larangan-larangan.[11] Oleh karena itu di Taize tidak terdapat moralisme. Sesuatu yang benar atau salah, tetapi sangat menekankan kesadaran untuk berefleksi akan kehadiran Tuhan, sehingga Syalom tersebut dapat diberitakan. Mereka hidup dalam dunia yang berbeda dan membawa aliran gereja yang berbeda, tetapi keindahan tersebut dilihat dengan apa yang disebut dengan Dionysius Aeropagus atau keindahan persatuan. Kita juga melihat bahwa masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang pluralistik, tetapi biarlah semangat persatuan menjadi dasar untuk menciptakan relasi yang baik antara sesama dan Tuhan. Semboyan yang pernah dikatakan oleh orang Islam yaitu Islam Yes, kafir No, perlu ditinjau dan didialogkan. Kafir yang dianggap oleh orang Islam mungkin bukan agama-agama yang berada di sekitarnya, tetapi kafir dalam arti orang yang musrik atau menyembah selain Tuhan. Gereja perlu melihat dan mengembangkan pembinaan yang berwawasan luas dan bukannya sempit atau eksklusif, tetapi pembinan yang mau menerima dan terbuka akan kemajemukan yang ada di masyarakat Yogyakarta ini. Hal ini terbukti baik dengan keterlibatan Pdt. Paulus Lie di dalam organisasi FKUB (Forum Kesatuan Umat Beragama) di Yogyakarta. Remaja perlu mengembangkan untuk melakukan kegiatan yang tidak hanya intern gereja saja, tetapi melihat pergumulan yang berada di luar, seperti kemiskinan dan ketidakadilan, sehingga kesadaran dan kepekaan tersebut dapat menemukan makna akan kehidupan di masa remaja ini. Banyak hal yang perlu dibantu, seperti masyarakat kali Code yang ada di Yogyakarta. Banyak orang muda yang tidak peduli dengan nasib kemiskinan, tetapi kenyataan tersebut memampukan remaja untuk berpikir dan berpotensi mengembangakan menjadi lebih baik. Kalau remaja dan pemuda tahun 1998 saja mampu mendobrak status quo, apakah remaja GKI Gejayan mampu mengubah nasib masyarakat kali code di Yogyakarta? Pertanyaan yang perlu untuk direnungkan.
E) PENUTUP
Demikianlah suatu analisa dan jurnal mengenai keterlibatan di dalam pelayanan komisi remaja GKI Gejayan. Saya mempunyai rasa yang optimis bahwa remaja mempunyai potensi yang besar di dalam kemajuan masyarakat, berbangsa dan khususnya regenerasi gereja. Pembinaan yang holistik dan pendampingan yang penuh dengan kasih memampukan para remaja untuk dapat menemukan makna hidup dan dapat berkreasi menjadi pribadi yang matang dan menyenangkan. Akhir kata, tiada gading yang tak retak, untuk itu mohon maaf atas penjelasan yang terbatas ini.
DAFTAR PUSTAKA
Clement, Oliver. Taize: Mencari Makna Hidup. Yogyakarta: kanisius, 2003.
Cremers, A. Tahap Perkembangan Kepercayaan menurut J.W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius. 1995
Erikson, E.H. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia. 1989
Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Ja’asutra, 2007
Lembaga Pembinaan dan Pengkaderan Sinode GKJ dan GKI Jateng, Motivasi Visi dan Misi Pembimbing remaja. Yogyakarta: LPP Sinode, 1997.
Seymour, Jack L., “Mapping Christian Education”
Suparno, Paul Dr. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius. 2001
Tangdilintin, Philips. Pembinaan Generasi Muda dengan Proses Manajerial VOSRAM. Yogyakarta: Kanisius, 2008
[1] Ibrahim, Idi Subandy. Budaya Populer sebagai Komunikasi. Yogyakarta: Ja’asutra, 2007 Hal 87
[2] Artikel yang ditulis dan disampaikan oleh Dra. Mariani Sutanto, pada saat kuliah Pendidikan Kristiani Remaja di Universitas Kristen Duta Wacana pada tanggal 6 Oktober 2008.
[3] Pejaran religiositas adalah pelajaran yang diberikan di SMA Bopkri 1 yang bisa dipelajari oleh semua agama.
[4] Artikel ini berjudul “Restrukturisasi, Untuk Revitalisasi Jemaat” yang disampaikan oleh Pdt. Paulus Lie di GKI Gejayan di dalam pembinaan kepada para pekerja dan aktifis gereja sekitar bulan Agustus 2008.
[5] Seymour, Jack L., “Mapping Christian Education” hlm 21
[6] Seymour, Jack L., “Mapping Christian Education” hlm 21
[7] Ibid
[8] Tangdilintin, Philips. Pembinaan Generasi Muda dengan Proses Manajerial VOSRAM. Yogyakarta: Kanisius, 2008 Hal 23
[9] Ibid Hal 27
[10] Tangdilintin, Philips. Pembinaan Generasi Muda dengan Proses Manajerial VOSRAM. Yogyakarta: Kanisius, 2008 Hal 55-56
[11] Clement, Oliver. Taize: Mencari Makna Hidup. Yogyakarta: kanisius, 2003. hal 31
Rabu, 17 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar