Rabu, 17 Desember 2008

MENUJU KESEJAHTERAAN dan kedamaian SEJATI

MENUJU KESEJAHTERAAN dan kedamaian SEJATI
Sebuah tawaran analisa kasus terpidana mati Amrozi dkk dalam pluralitasIndonesia

I. Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam dan plural. Bangsa yang mempunyai banyak perbedaan baik dari segi suku, agama, ras maupun golongan. Bangsa Indonesia diakui oleh manca negara sebagai bangsa yang khas dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan tersebut sangat melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Tetapi, apakah semboyan tersebut masih tetap berlaku dan relevan hingga masa sekarang?
Awal bulan November yang lalu, kita telah mendengar dan melihat sebuah berita yang hangat dan penting baik di kalangan nasional maupun internasional mengenai hukuman eksekusi terpidana mati kasus peledakan bom bali I. Penghukuman tersebut menandakan adanya asumsi dari kalangan masyarakat yang dapat menggugat disintegrasi bangsa dan hilangnya semangat semboyan Negara Indonesia. Mengapa asumsi tersebut ada? Karena kita telah dikejutkan dengan respon dari beberapa kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi bahwa mereka akan meneruskan perjuangan jihad seperti Amrozi dkk.[1] Mereka (kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi) akan menghancurkan beberapa pusat penjualan yang berasal dari Negara Amerika, karena mereka memahami bahwa aktor intelektual dibalik penghukuman mati tersebut adalah Negara Amerika. Kabarnya, mereka akan melakukan pengeboman pada hari Natal (25 Desember 2008) karena mereka mengklaim bahwa Amerika identik dengan orang Kristen. Banyak kalangan atau kelompok yang pro dan kontra mengenai penghukuman eksekusi mati Amrozi dkk.
Lalu, apakah tindakan Negara atas eksekusi terpidana mati Amrozi dkk tersebut benar? Bukankah hal semacam itu dapat melunturkan esensi semboyan bangsa Indonesia? Bagaimana jika eklusifitas jauh lebih menonjol dari pada pluralitas dalam diri bangsa Indonesia? Kasus ini menjadi titik acuan penulis untuk mengungkapkan sebuah tawaran terhadap pandangan dan harapan bagi bangsa Indonesia agar dapat sejahtera. Penulis akan menuliskan sebuah komunitas negara Cordoba Spanyol yang pluralistik dari segi keagamaan dan juga mampu hidup dalam damai di antara masyarakat.

II. Belajar Dari Peradaban Masyarakat Pluralistik Cordoba yang Beradab[2]
Bagian ini berbicara tentang kekuasaan Al-Andalus pada masyarakat kota pluralistik Cordoba Spanyol berdasarkan agama-agama Abraham. Agama-agama ini mempunyai peranan yang besar bagi perkembangan manca negara dan pemikiran teologis yang berkaitan dengan agama yang misioner. Dr. Kees De Jong menjelaskan bahwa masyarakat Al-Andalus merupakan masyarakat yang majemuk. Banyak keturunan orang Romawi, orang Visgoth, orang Vandal, orang Spanyol, orang Berber, orang Arab, orang Slav yang hidup bersama-sama dan saling berdampingan. Selain itu, dari segi agama juga hidup rukun yaitu antara agama Islam, Kristen dan Yahudi. Lalu mengapa ada penerimaan dan saling menghargai di antara masyarakat? Karena ada sebuah sistem pemerintahan atau struktur yang dipimpin oleh gubernur-gubernur, Amir-amir (gelarnya diubah pada tahun 926 untuk menjadi khalifah-khalifah). Sistem tersebut tidak menerapkan otoriter kekuasaan, tetapi setiap daerah ataupun propinsi diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Jika kita melihat sistem yang ada di Indonesia, sistem tersebut sama dengan sistem otonomi daerah.
Keadaan Spanyol sebelum invasi Islam masuk, Cordoba berada pada kekuasaan kaum Visgoth. Kaum ini tidak menguasi Spanyol secara penuh karena agama yang dianut adalah aliran Kristen Arian[3] berbeda dengan masyarakat Spanyol yaitu Katolik Roma. Selain berada di bawah kekuasaan Visgoth, kekuasaan Cordoba juga berada pada kaum Aristokrat yang berdasarkan kaum elit penguasa pada waktu itu, sehingga mereka sulit memilih para prajurit. Ada jurang yang besar antara penguasa dan masyarakat. Jurang besar itu mengakibatkan banyak rakyat menderita dan hidup tidak bebas. Mereka hanya bekerja sebagai budak dan petani. Ada keputusan-keputusan sinode gereja tahun 693 yang menyatakan bahwa ada sentimen terhadap orang Yahudi, kemudian pada tahun 694 diambil keputusan bahwa apabila ada seseorang yang belum babtis katolik akan dijadikan budak.
Zaman berubah pada saat invasi Islam masuk Spanyol. Invasi Islam tersebut menuju Spanyol dan Prancis. Invasi tersebut dimulai pada tahun 630 dengan penaklukan kota Makkah oleh Nabi Muhammad. Pada tahun 717 banyak permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Cordoba karena terjadi perang Tours/Potiers pada bulan Oktober 732, banyak orang Islam diusir dari Spanyol dan Prancis. Permasalahan itu memberikan segi positif bagi kebudayaan Arab, karena pada saat itu kebudayaan tersebut telah berkembang dan dapat dipelajari oleh orang Kristen dan Yahudi, sehingga mereka dapat berbahasa Arab dan Spanyol. Hubungan antar agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dalam masyarakat Cordoba, ditulis oleh Irving yang menyatakan sebuah hubungan antar agama di Cordoba yang saling menghargai.[4]
...Bangsa Arab menunjukan toleransi yang sangat mendasar dari golongan ahli kitab, setelah penaklukan golongan orang Kristen…menikmati kebebasan sipil dengan gereja, hukum, pengadilan, hakim, uskup dan kebangsaan mereka sendiri. Penguasa Islam hanya menuntut hak untuk menyetujui pengangkatan uskup dan memanggil Dewan gereja.
Golongan Kristen di selatan yang meletakan senjata dibiarkan memiliki tanah-tanahnya, tetapi harus membayar jizjah atau pajak untuk mendapatkan hak memberi suara. Di utara mereka tetap memiliki perkebunan buah-buahan dan dapat ditanami tanaman jenis lain, kemudian mereka diwajibkan membayar kharaj…
Golongan Yahudilah yang benar-benar tertolong oleh penyerbuan Arab ini. Mereka menjadi orang merdeka dan secara aktif membantu bangsa Arab dalam memerintah Spanyol…

Abdurahman I yang disebut sebagai Abdurahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik (728-788) adalah pendiri Emirat Ummyyah di Spanyol. Bagaimana seorang pemimpin mampu mempertahankan kesatuan dan menjadi lebih maju? Pada tanggal 15 Mei 756, kebetulan hari jumat, Abdurahman menaklukan Cordoba dan mengatakan bahwa dia memplokamirkan dirinya sebagai penguasa dan dengan sungguh-sungguh berjanji akan menegakan keadilan bagi semua kelas.[5] Keadaan pada saat itu juga berubah drastis, ia membagi tiap daerah dan dipimpin oleh gubernur, ia membangun dinding tembok yang terkenal dengan ibu kota Cordoba, ia membangun masjid Agung al-Hamra di Cordoba, membangun pusat pendidikan, ia juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat dengan membuat saluran-saluran air untuk irigrasi. Oleh karena itu, banyak aspek yang berkembang dan maju, seperti hubugan agama-agama yang melahirkan masyarakat sipil (madani), ekonomi, politik, pendidikan, perdagangan dan masalah tentang moral yang berkaitan dengan persahabatan dan persaudaraan di antara masyarakat.
Sesudah berakhirnya pemerintahan Abdurahman I, banyak persaingan yang menyebabkan disintegrasi bangsa pada saat itu. Banyak pemberontak dari suku-suku Arab dan Berber yang menggoncang kesatuan pemerintahan Cordoba. Pada saat itu pemerintahan diganti oleh Abdurahman III. Dia membuat keputusan tegas di tengah gejolak disintegrasi yang terjadi dengan membuat sebuah keputusan mengenai posisi dan perannya dengan sebutan Khalifah (pembela agama Allah). Peran tersebut membuat adanya benteng yang kuat terhadap pemerintahan yang dipegang oleh Abdurahman III. Melalui posisi perannya yang teratas di Ummayah Spanyol, ia mampu menyelamatkan Andalusia dari serbuan suku-suku atau agama lain. Ia juga memperbaiki sistem ekonomi yang kacau balau menjadi lebih tertata dan baik, dia memperkuat benteng pertahanan dari ancaman luar sehingga keamanan masyarakat menjadi kondusif. Pemerintahan yang khas pada masanya adalah tidak adanya perbedaan dalam pembagian peran kekuasaan pemerintahan baik orang Islam, Kristen maupun Yahudi. Semua bisa dan boleh menjadi pemimpin ataupun gubernur di setiap wilayah atau daerah. Sistem pertahanan yang kuat berasal dari kesatuan antara suku Berber, Slav, dan orang Spanyol yang dulunya adalah budak yang diperalat oleh kekuasaan sebelumnya.

III. Tanggapan dan Analisa
Dari ringkasan sejarah Cordoba tersebut, bagaimanakah dengan bangsa Indonesia yang merupakan masyarakat pluralistik yang beradab dan berdasarkan sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab? Akankah Indonesia menjadi Negara yang damai, adil dan sejahtera di tengah modernitas dan kemajuan zaman ini? Terlebih lagi menghadapi kasus Amrozi dkk. Dari sinilah, kami penulis menawarkan beberapa hal berkaitan dengan pandangan akan pluralistik agama, HAM dan peran gereja, negara maupun masyarakat sendiri terhadap gentingnya kasus Amrozi dkk.

A) Pluralistik Agama dan Hak Asasi Manusia
Sejarah Indonesia telah membuktikan betapa sulitnya suatu hal mengacu pada pluralistik. Banyak keraguan yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Kita dapat mengetahui pada pemerintahan Presiden Soekarno, unsur komunis diperbolehkan pada pemilihan umum. Pada pemerintahan Presiden Soeharto, akhirnya berdampak pada G30/S PKI sehingga komunis dilarang keras masuk Indonesia. Ketika tumbangnya orde baru, banyak golongan dan aspirasi rakyat yang muncul untuk berjuang menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih baik, seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempuk (FBR), dll.
Banyak golongan dan daerah yang ingin menjadikan bangsa Indonesia menjadi Negara theokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Ini merupakan suatu tatanan yang diterapkan oleh Negara Indonesia, tetapi apakah hukum tersebut relevan dan masih berlaku dalam kemajemukan yang terjadi di Indonesia? Penulis menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat mutlak antara masyarakat Cordoba dengan masyarakat Indonesia. Pada satu sisi, memang dikatakan berbeda, tetapi motivasi perbedaan tersebut patut dipertanyakan. Pemimpin Cordoba menerapkan hukum theokrasi, namun bukan berarti menjadikan agama yang lain untuk memeluk agama Islam. Selain itu, adanya motivasi yang menganggap agamaku yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain, membuat adanya perbedaan yang berujung pada perpecahan.
Golongan atau agama yang berjuang dengan memperbaiki bangsa Indonesia menjadi lebih baik merupakan kewajiban asasi golongan maupun agama sebagai bangsa Indonesia, namun, bukanlah hak yang didasarkan atas kemanusiaan. Faktor yang menentukan persatuan adalah wujud kemanusiaan yang kongkret dalam kehidupan manusia. Prof Mohammed Arkoun mengatakan bahwa Islam akan meraih kejayaan jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapapun.[6] Negara Arab pun sebenarnya sudah belajar akan pemikiran humanisme yaitu sekitar abad ke 10, Istilah yang dipakai adalah Munadharah.
Dr. Kees De Jong mengatakan bahwa peraturan-peraturan pemerintah Indonesia kadang-kadang lebih mengganggu hubungan harmonis antara agama dari pada mendorong hubungan antara agama yang baik. Ini memang kenyataan yang ada di Indonesia. Kita terlalu memberikan perspektif personal agama yang diungkapkan dalam tatanan pemerintah, sehingga perpektif universal tidak ada. Orang cenderung mempunyai motivasi yang bersifat golongan (kepentingan pribadi) daripada kepentingan yang bersifat kemanusiaan (universal). Ini membuat adanya ketidakharmonisan bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Penulis mempertegas kembali bahwa hal ini pula akan menghambat hak asasi manusia yang paling hakiki.

B) Peran Agama, Negara dan masyarakat di Indonesia
Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia bersifat multireligius. Tentunya, masyarakat perlu menempatkan prinsip-prinsip keagamaannya dalam sebuah relasi yang benar antara Negara maupun agama. Setiap agama yang dianut oleh masyarakat pastinya mempunyai nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum. Sejatinya, nilai dan norma tersebut memberi dasar dan orientasi bagi kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk. Namun, bukan berarti Negara Indonesia harus hidup berdasarkan agama, melainkan berdasarkan pada aplikasi praktis agama dalam bidang kemasyarakatan. Bukan ajaran/dogma dari setiap agama, melainkan nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum tersebut.[7]
Masyarakat Indonesia kadang-kadang masih mempunyai konsepsi pemahaman akan sebuah mitos yang telah membudaya dengan begitu kuat. Tetapi setelah perkembangan yang membuktikan bahwa kekuasaan religius tidak mampu menyejahterakan manusia, maka lahirlah suatu pemikiran yang lebih bersifat humanis. Banyak perkembangan yang maju di dalam masyarakat. Bagaiamana posisi kekuasaan dan masyarakat yang bersifat tradisional di transformasi menjadi yang lebih baik berdasarkan daya pikir dan intelektual manusia. Pemahaman ini tetap saja ada di masyarakat Yogyakarta, bagaimana menganggap Sri sultan Hamengku Buwono adalah titisan Ilahi, tetapi masyarakat tetap mempunyai pemikiran yang tidak hanya bersifat mitos saja, tetapi juga realistis.
Mayarakat yang baru mengganti corak tradisional tersebut dapat berjalan dengan efektif dan baik apabila berpartisipati aktif di tengah kemajemukan yang ada di dalam Negara dan bangsa. Masyarakat yang mempunyai kontribusi dengan keyakinan dan dedikasi yang tulus, serta masyarakat yang partisipatoris dan sejahtera secara umum tidak bergantung pada dogma atau ajaran, tetapi bergantung pada moral dan kebajikan para anggota masyarakat.[8] Ini merupakan suatu kepercayaan baik dari diri masyarakat sendiri yang mempunyai keinginan kuat untuk maju dan lebih baik, tetapi juga kepercayaan yang diberikan kepada penguasa untuk mewujudkan aspirasi rakyat dan masyarakat sekitar, sehingga kepercayaan yang tidak hanya internal, tetapi juga eksternal. Masyarakat atau suatu komunitas diperlukan penghormatan dan penghargaan di dalam penerimaan diri akan suatu kemajemukan bangsa yang berbeda-beda, sehingga aspek-aspek dogmatis atau ajaran yang bersifat eksklusif tidak relevan di dalam kemajemukan ini, tetapi aspek penghayatan akan spiritualitas yang menjadi langkah pijak di dalam menjadi relasi kebersamaan beragama. Oleh karena itu, rasa keterbukaan antara masyarakat menjadi suatu awal yang baik membangun korelasi hidup beragama. Penulis menyadari bahwa masyarakat Indonesia sudah banyak belajar pluralitas sejak dahulu kala. Hal ini terbukti dengan dengan pendirian candi prambanan (hindu) dan di sampingnya terdapat candi yang berasal atau bersumber dari agama budha. Ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia sudah banyak belajar akan pluralitas dan kemajemukan.
Dalam diri Negara Indonesia pun terdapat asas dasar Negara yaitu pancasila yang dapat dijadikan sebagai “pandangan dunia” yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia apapun agamanya. Tentunya, dari sinilah, negara Indonesia perlu melihat kembali dasar negaranya agar dapat saling menghormati dan melindungi ikatan religius warganya. Negara berdasarkan atas pancasila,. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti tidak mengakui suatu agama sebagai agama Negara. Bukan Negara yang percaya kepada Allah, melainkan warga Negara sesuai dengan nilai, norma, etis, moral dan hukum. Sila ini juga mempunyai implikasi yang bersifat sosial, artinya bagaimana masyarakat mampu menghormati setiap pemeluk agama lain.
Jika kita mengingat kembali peristiwa 11 September 2001, bagaimana gedung WTC di New York Amerika Serikat hancur. Hal ini mengakibatkan sebuah wacana tentang pandangan Islam yang negatif. Suatu agama yang lahir dan dipersepsikan sebagai agama yang melahirkan kekerasan dan terorisme.[9] Tetapi apakah ini merupakan suatu perubahan dan paradigma mengenai agama Islam secara menyeluruh? Jika hal ini benar-benar terjadi maka peran utama agama Islam bukan lagi sebagai sumber moral dan pencerahan hidup, melainkan semata sebagai alat legitimasi politik dan sarana mobilisasi masa yang biasanya mengabdi pada kepentingan kekuasaan dan akumulasi kapital.[10] Di sini, agama menjadi sebuah alat yang digunakan oleh penguasa kekuasaan untuk mencapai sebuah kepentingan politik.
Prof. Dr. Olaf Schuman mengatakan bahwa kerukunan beragama bukanlah tujuan akhir, sebab misi agama bukan semata menjalin kerukunan dan perdamaian semata, melainkan untuk untuk memberikan pelayanan pada umat manusia agar tumbuh menjadi hamba-hamba Tuhan yang baik. Perkataan ini menunjukan bahwa otoritas yang Ilahilah yang menjadi dasar manusia berpijak dan menjalin relasi dengan manusia dan dunia. Bagaimana kehidupan manusia yang lebih berwatak dan bermartabat sesuai dengan dasar-dasar kebangsaan? Ideal yang dikatakan oleh Olaf Schman adalah umat beragama mestinya menjadi tiang penyangga persatuan bangsa dan pemberi solusi atas problem-problem sosial yang muncul (problem solver), bukannya malah menjadi komunitas yang justru menimbulkan sumber masalah bangsa (problem maker). Konteks kehidupan bangsa Indonesia tidak akan pernah terlepas dengan pluralitas.
Jika kita mengingat kembali GBHN 1988, pemerintah RI menghimbau agar agama-agama lebih giat menegakan kaidah-kaidah yang menolong mengembangkan segi moral, etika dan spiritual dalam kehidupan bangsa.[11] Hal ini tidak terjadi dalam realita karena negara sendiri seakan-akan menghambat relasi dalam keberagaman bersama agama lain. Seperti misalnya kita mengetahui akhir-akhir ini mengenai UU pornografi dan porno aksi, serta UU pernikahan beda agama. Hal ini mengakibatkan bahwa kebijakan dan peraturan Negara atau penguasa tidak membuat kesejahteraan masyarakat, tetapi perpecahan. Jika kita melihat pemerintahan masyarakat cordoba, maka untuk itu beberapa hal yang dapat digali menurut Eddy Kristiyanto adalah bagaimana di dalam kehidupan manusia, agama dapat memberikan penilaian moral di bidang politik, agama menggunakan upaya-upaya duniawi seraya mempertahankan keutuhan kesaksian injil, agama dan negara harus melayani panggilan manusia, agama dan Negara perlu menciptakan kerjasama yang sehat serta agama menghargai mereka yang memperjuangkan kesejahteraan umum.[12]
Dari seluruh pembahasan di atas, dengan melihat kembali tugas dan kewajiban Negara sebagai Negara pancasila, maka kebijakan dan keputusan atas kasus terpidana mati Amrozi dkk tersebut sudahlah tepat. Bagaimana mungkin Negara dapat menyejahterahkan masyarakat jika oknum atau tokoh yang membuat “resah” di sebagian besar kalangan masyarakat tidak dimusnahkan? Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan hukum. Tentunya, bersikap setimpal dengan kesalahan yang diperbuatnya. Meskipun agama melihat dari sisi kemanusiaannya, pasti juga mempunyai perasaan yang tidak rela adanya seorang manusia yang dihukum mati. Kita juga tidak melepaskan konteks ini dengan hak asasi manusia bahwa manusia membutuhkan adanya hidup yang damai dan tentram. Jika Amrozi tidak dihukum mati maka asumsinya akan muncul kembali bom kesekian kalinya. Namun bukan berarti setelah terpidana matinya Amrozi, Negara Indonesia menjadi aman dan sejahtera. Justru akan banyak misteri yang timbul karena memang adanya kontroversi terhadap kasus eksekusi tersebut. Tidak begitu saja masyarakat menjadi tentram, tetapi masyarakat harus lebih waspada terhadap serangan yang akan muncul. Di sini diperlukan tugas Negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti penjelasan di awal bahwa masyarakat itu multireligius, tentu saja multi ideologi. Maka tidaklah aneh jika asumsi “penindasan” terhadap orang Kristen (Amerika) akan terwujud, namun pemikiran dan ideologi tersebut tidaklah bijaksana.

IV. REFLEKSI TEOLOGIS
Gereja yang menjadi bagian dalam tugas dan tanggung jawab untuk menghadirkan syalom sebaiknya perlu meninjau ulang berdasarkan konteks dimana berada. Prof. Olaf H. Schumann mengatakan bahwa gereja dan orang beriman bersifat relasional dan berhubungan. Oleh karena itu, kita tidak hidup bagi diri sendiri, iman Kristen kita pun tidak berlaku bagi diri sendiri. Pemahaman ini tidak hanya bersifat eksklusif, tetapi bersifat inklusif dan pluralis. Artinya, gereja mengakui bahwa dia hidup di dalam dunia yang beragam dan majemuk. Suatu keadaan yang didasarkan pada pemahaman sosilogis yang berkaitan dengan makhluk sosial yang tidak akan pernah terlepas dengan orang lain.
Banyak permasalahan agama yang berujung kepada kekerasan menjadi sentimen akan pemeluk beragama. Hal ini mempengaruhi implikasi praktis suatu telogi atau instruksi rohani untuk mengatakan akan pembalasan dendam karena adanya kontruksi teologis yang salah dan tidak relevan. Dari Ambon malah diberitakan ucapan pendeta dan imam yang sama-sama mengatakan penangguhan nilai, norma moral dan etika Kristen maupun Islam: yang berlaku sekarang adalah hukum balas dendam.[13] Kontruksi teologis ini mengistilahkan adanya gambaran api berperang melawan api dan tentunya api yang menang dan bukannya rekonsiliasi perdamaian.
Kontruksi teologis yang berkaitan dengan keperbedaan dan kemajemukan berkaitan dengan misi gereja juga perlu ditinjau ulang dalam rangka menciptakan teologi yang komprenhensif bagi masyarakat secara luas. Kita mendengar bahwa satu tahun yang lalu ada acara Kristen di Yogyakarta besar-besaran yang diprotes oleh pihak militan Islam.[14] Bernard Adeney Risakotta mengatakan bahwa persoalannya bukan bagaimana memahami sesuatu yang mutlak benar, melainkan bagaimana kita bertindak (praxis) dalam konteks nyata supaya kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan sekaligus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Misi gereja selalu dikaitkan dengan injil Matius pasal 28: 19-20 yang berbunyi, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ayat-ayat ini sering disebut sebagai “Amanat Agung” (the Great Commision). Hal ini mengandung sesuatu yang kontradiksi dengan Matius 22:37-39 yang berkaitan dengan hukum terutama dan yang pertama. Oleh karena itu, bagaimana misi tersebut dilakukan dalam konteks yang tepat yang plural dalam kemajemukan di Indonesia. Kita harus mengetahui konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi di Indonesia dan bukannya konteks Palestina pada abad pertama, karena kita sering kali mengedapankan dogma yang bisa membuat terbenturnya dengan kondisi masyarakat lainnya. Oleh Karena itu, jangan merasa kaget apabila selama berabad-abad terjadi berbagai persaingan, ketegangan, diskriminasi, penindasan, perang saudara dan pembantaian yang terkait dengan persoalan agama.
Metode-metode misi gereja diperlukan suatu pendekatan yang berkaitan dengan aspek kontekstual masyarakat. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa kita perlu berteologi secara kontekstual di dalam membangun relasi antara agama-agama, sehingga tercipta keharmonisan. Banyak tafsiran alkitab yang kadang-kadang asal comot ayat dan tidak memperhatikan dalam kontek saat itu. Kita berteologi dalam masa kini dengan memperhatikan konteks memang di perlukan, tetapi konteks alkitab jaman dulu juga harus diperhatikan, sehingga ayat tersebut mempunyai dasar biblis yang kuat dan tidak hanya asal dicomot. Kita sering mendengar Yohanes 14 : 6 yang mengatakan bahwa Agama Kristen lebih unggul dengan agama lain. Ayat tersebut berbunyi “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” Konteks tersebut sebenarnya tidak berbicara mengenai misi, tetapi berbicara akan suatu pergumulan konteks sosial dan politik bahwa sistem penguasa yang kuat membuat masyarakat tidak bisa memilih kehidupan yang benar, sehingga Yesus mengatakan ayat tersebut. Bagaimana orang-orang miskin dan tidak berdaya menjadi bergumul akan pilihan kehidupan yang tidak bisa apa-apa karena penindasan dari golongan penguasa. Sejatinya, bahwa gereja mempunyai misi yang menghadirkan syalom yang sesungguhnya dan bukannya perpecahan dan disintegrasi bangsa.
Kita dapat belajar dari masyarakat Cordoba bahwa seorang pemimpin mampu memplokamirkan diri dan berjanji untuk menyejahterakan masyarakat, padahal corak pemerintahannya adalah teokrasi, sedangkan Indonesia yang bersorak sistem republik dan berasaskan Pancasila sangat sulit untuk menciptakan keharmonisan. Terkadang pemimpin masih memikirkan kepentingan pribadi.
Sejatinya, gereja mempunyai misi menghadirkan syalom dan bukannya perpecahan maupun disintegrasi bangsa. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih memberikan suatu konsep yang diambil dari teolog Katolik John S. Dunne yaitu “passing over and coming back”.[15] Bagaimana kita terbuka terhadap agama lain dan berupaya untuk belajar juga pada agama lain sehingga ada suatu koneksi dan korelasi antara keduanya, serta dalam konteks tidak hanya wacana, tetapi ada suatu penghayatan spiritualitas yang memampukan manusia untuk hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk itu, sebagai orang Kristen diperlukan sebuah keterbukaan untuk mau menerima kritik dan tidak hanya eksklusif dimana pun berada.
V. PENUTUP
Akhirnya, kekuatiran terhadap asumsi negatif akibat terjadinya eksekusi mati Amrozi dkk perlulah ditipiskan. Inilah, sebuah tawaran bagi agama, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menuju kesejahteraan dan kedamaian yang sejati.
DAFTAR PUSTAKA

De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008.
Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
[1] Siaran Metro TV pada tanggal 26 Oktober 2008 pukul 18.00
[2] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
[3] Aliran yang menganggap Yesus sebagai manusia.
[4] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 6
[5] Ibid Hal 7
[6] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 21
[7] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 200 hal 72-82
[8] Ibid hal 53
[9] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal XII
[10] Ibid Hal xiii
[11] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal 22
[12] Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008. hlm.141-142
[13] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004 hal 126
[14] Acara KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di sertai dengan kuasa penyembuhan itu di adakan di Stadion Mandala Krida Yogyakarta dengan pendeta yang berasal dari Kanada.
[15] Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 hal 157
Sebuah tawaran analisa kasus terpidana mati Amrozi dkk dalam pluralitasIndonesia

I. Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam dan plural. Bangsa yang mempunyai banyak perbedaan baik dari segi suku, agama, ras maupun golongan. Bangsa Indonesia diakui oleh manca negara sebagai bangsa yang khas dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semboyan tersebut sangat melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Tetapi, apakah semboyan tersebut masih tetap berlaku dan relevan hingga masa sekarang?
Awal bulan November yang lalu, kita telah mendengar dan melihat sebuah berita yang hangat dan penting baik di kalangan nasional maupun internasional mengenai hukuman eksekusi terpidana mati kasus peledakan bom bali I. Penghukuman tersebut menandakan adanya asumsi dari kalangan masyarakat yang dapat menggugat disintegrasi bangsa dan hilangnya semangat semboyan Negara Indonesia. Mengapa asumsi tersebut ada? Karena kita telah dikejutkan dengan respon dari beberapa kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi bahwa mereka akan meneruskan perjuangan jihad seperti Amrozi dkk.[1] Mereka (kalangan Islam konservatif dan pendukung kelompok Amrozi) akan menghancurkan beberapa pusat penjualan yang berasal dari Negara Amerika, karena mereka memahami bahwa aktor intelektual dibalik penghukuman mati tersebut adalah Negara Amerika. Kabarnya, mereka akan melakukan pengeboman pada hari Natal (25 Desember 2008) karena mereka mengklaim bahwa Amerika identik dengan orang Kristen. Banyak kalangan atau kelompok yang pro dan kontra mengenai penghukuman eksekusi mati Amrozi dkk.
Lalu, apakah tindakan Negara atas eksekusi terpidana mati Amrozi dkk tersebut benar? Bukankah hal semacam itu dapat melunturkan esensi semboyan bangsa Indonesia? Bagaimana jika eklusifitas jauh lebih menonjol dari pada pluralitas dalam diri bangsa Indonesia? Kasus ini menjadi titik acuan penulis untuk mengungkapkan sebuah tawaran terhadap pandangan dan harapan bagi bangsa Indonesia agar dapat sejahtera. Penulis akan menuliskan sebuah komunitas negara Cordoba Spanyol yang pluralistik dari segi keagamaan dan juga mampu hidup dalam damai di antara masyarakat.

II. Belajar Dari Peradaban Masyarakat Pluralistik Cordoba yang Beradab[2]
Bagian ini berbicara tentang kekuasaan Al-Andalus pada masyarakat kota pluralistik Cordoba Spanyol berdasarkan agama-agama Abraham. Agama-agama ini mempunyai peranan yang besar bagi perkembangan manca negara dan pemikiran teologis yang berkaitan dengan agama yang misioner. Dr. Kees De Jong menjelaskan bahwa masyarakat Al-Andalus merupakan masyarakat yang majemuk. Banyak keturunan orang Romawi, orang Visgoth, orang Vandal, orang Spanyol, orang Berber, orang Arab, orang Slav yang hidup bersama-sama dan saling berdampingan. Selain itu, dari segi agama juga hidup rukun yaitu antara agama Islam, Kristen dan Yahudi. Lalu mengapa ada penerimaan dan saling menghargai di antara masyarakat? Karena ada sebuah sistem pemerintahan atau struktur yang dipimpin oleh gubernur-gubernur, Amir-amir (gelarnya diubah pada tahun 926 untuk menjadi khalifah-khalifah). Sistem tersebut tidak menerapkan otoriter kekuasaan, tetapi setiap daerah ataupun propinsi diberikan keleluasaan untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat. Jika kita melihat sistem yang ada di Indonesia, sistem tersebut sama dengan sistem otonomi daerah.
Keadaan Spanyol sebelum invasi Islam masuk, Cordoba berada pada kekuasaan kaum Visgoth. Kaum ini tidak menguasi Spanyol secara penuh karena agama yang dianut adalah aliran Kristen Arian[3] berbeda dengan masyarakat Spanyol yaitu Katolik Roma. Selain berada di bawah kekuasaan Visgoth, kekuasaan Cordoba juga berada pada kaum Aristokrat yang berdasarkan kaum elit penguasa pada waktu itu, sehingga mereka sulit memilih para prajurit. Ada jurang yang besar antara penguasa dan masyarakat. Jurang besar itu mengakibatkan banyak rakyat menderita dan hidup tidak bebas. Mereka hanya bekerja sebagai budak dan petani. Ada keputusan-keputusan sinode gereja tahun 693 yang menyatakan bahwa ada sentimen terhadap orang Yahudi, kemudian pada tahun 694 diambil keputusan bahwa apabila ada seseorang yang belum babtis katolik akan dijadikan budak.
Zaman berubah pada saat invasi Islam masuk Spanyol. Invasi Islam tersebut menuju Spanyol dan Prancis. Invasi tersebut dimulai pada tahun 630 dengan penaklukan kota Makkah oleh Nabi Muhammad. Pada tahun 717 banyak permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Cordoba karena terjadi perang Tours/Potiers pada bulan Oktober 732, banyak orang Islam diusir dari Spanyol dan Prancis. Permasalahan itu memberikan segi positif bagi kebudayaan Arab, karena pada saat itu kebudayaan tersebut telah berkembang dan dapat dipelajari oleh orang Kristen dan Yahudi, sehingga mereka dapat berbahasa Arab dan Spanyol. Hubungan antar agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dalam masyarakat Cordoba, ditulis oleh Irving yang menyatakan sebuah hubungan antar agama di Cordoba yang saling menghargai.[4]
...Bangsa Arab menunjukan toleransi yang sangat mendasar dari golongan ahli kitab, setelah penaklukan golongan orang Kristen…menikmati kebebasan sipil dengan gereja, hukum, pengadilan, hakim, uskup dan kebangsaan mereka sendiri. Penguasa Islam hanya menuntut hak untuk menyetujui pengangkatan uskup dan memanggil Dewan gereja.
Golongan Kristen di selatan yang meletakan senjata dibiarkan memiliki tanah-tanahnya, tetapi harus membayar jizjah atau pajak untuk mendapatkan hak memberi suara. Di utara mereka tetap memiliki perkebunan buah-buahan dan dapat ditanami tanaman jenis lain, kemudian mereka diwajibkan membayar kharaj…
Golongan Yahudilah yang benar-benar tertolong oleh penyerbuan Arab ini. Mereka menjadi orang merdeka dan secara aktif membantu bangsa Arab dalam memerintah Spanyol…

Abdurahman I yang disebut sebagai Abdurahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik (728-788) adalah pendiri Emirat Ummyyah di Spanyol. Bagaimana seorang pemimpin mampu mempertahankan kesatuan dan menjadi lebih maju? Pada tanggal 15 Mei 756, kebetulan hari jumat, Abdurahman menaklukan Cordoba dan mengatakan bahwa dia memplokamirkan dirinya sebagai penguasa dan dengan sungguh-sungguh berjanji akan menegakan keadilan bagi semua kelas.[5] Keadaan pada saat itu juga berubah drastis, ia membagi tiap daerah dan dipimpin oleh gubernur, ia membangun dinding tembok yang terkenal dengan ibu kota Cordoba, ia membangun masjid Agung al-Hamra di Cordoba, membangun pusat pendidikan, ia juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat dengan membuat saluran-saluran air untuk irigrasi. Oleh karena itu, banyak aspek yang berkembang dan maju, seperti hubugan agama-agama yang melahirkan masyarakat sipil (madani), ekonomi, politik, pendidikan, perdagangan dan masalah tentang moral yang berkaitan dengan persahabatan dan persaudaraan di antara masyarakat.
Sesudah berakhirnya pemerintahan Abdurahman I, banyak persaingan yang menyebabkan disintegrasi bangsa pada saat itu. Banyak pemberontak dari suku-suku Arab dan Berber yang menggoncang kesatuan pemerintahan Cordoba. Pada saat itu pemerintahan diganti oleh Abdurahman III. Dia membuat keputusan tegas di tengah gejolak disintegrasi yang terjadi dengan membuat sebuah keputusan mengenai posisi dan perannya dengan sebutan Khalifah (pembela agama Allah). Peran tersebut membuat adanya benteng yang kuat terhadap pemerintahan yang dipegang oleh Abdurahman III. Melalui posisi perannya yang teratas di Ummayah Spanyol, ia mampu menyelamatkan Andalusia dari serbuan suku-suku atau agama lain. Ia juga memperbaiki sistem ekonomi yang kacau balau menjadi lebih tertata dan baik, dia memperkuat benteng pertahanan dari ancaman luar sehingga keamanan masyarakat menjadi kondusif. Pemerintahan yang khas pada masanya adalah tidak adanya perbedaan dalam pembagian peran kekuasaan pemerintahan baik orang Islam, Kristen maupun Yahudi. Semua bisa dan boleh menjadi pemimpin ataupun gubernur di setiap wilayah atau daerah. Sistem pertahanan yang kuat berasal dari kesatuan antara suku Berber, Slav, dan orang Spanyol yang dulunya adalah budak yang diperalat oleh kekuasaan sebelumnya.

III. Tanggapan dan Analisa
Dari ringkasan sejarah Cordoba tersebut, bagaimanakah dengan bangsa Indonesia yang merupakan masyarakat pluralistik yang beradab dan berdasarkan sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab? Akankah Indonesia menjadi Negara yang damai, adil dan sejahtera di tengah modernitas dan kemajuan zaman ini? Terlebih lagi menghadapi kasus Amrozi dkk. Dari sinilah, kami penulis menawarkan beberapa hal berkaitan dengan pandangan akan pluralistik agama, HAM dan peran gereja, negara maupun masyarakat sendiri terhadap gentingnya kasus Amrozi dkk.

A) Pluralistik Agama dan Hak Asasi Manusia
Sejarah Indonesia telah membuktikan betapa sulitnya suatu hal mengacu pada pluralistik. Banyak keraguan yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Kita dapat mengetahui pada pemerintahan Presiden Soekarno, unsur komunis diperbolehkan pada pemilihan umum. Pada pemerintahan Presiden Soeharto, akhirnya berdampak pada G30/S PKI sehingga komunis dilarang keras masuk Indonesia. Ketika tumbangnya orde baru, banyak golongan dan aspirasi rakyat yang muncul untuk berjuang menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih baik, seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempuk (FBR), dll.
Banyak golongan dan daerah yang ingin menjadikan bangsa Indonesia menjadi Negara theokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Ini merupakan suatu tatanan yang diterapkan oleh Negara Indonesia, tetapi apakah hukum tersebut relevan dan masih berlaku dalam kemajemukan yang terjadi di Indonesia? Penulis menyadari bahwa ada perbedaan yang sangat mutlak antara masyarakat Cordoba dengan masyarakat Indonesia. Pada satu sisi, memang dikatakan berbeda, tetapi motivasi perbedaan tersebut patut dipertanyakan. Pemimpin Cordoba menerapkan hukum theokrasi, namun bukan berarti menjadikan agama yang lain untuk memeluk agama Islam. Selain itu, adanya motivasi yang menganggap agamaku yang paling sempurna dibandingkan dengan yang lain, membuat adanya perbedaan yang berujung pada perpecahan.
Golongan atau agama yang berjuang dengan memperbaiki bangsa Indonesia menjadi lebih baik merupakan kewajiban asasi golongan maupun agama sebagai bangsa Indonesia, namun, bukanlah hak yang didasarkan atas kemanusiaan. Faktor yang menentukan persatuan adalah wujud kemanusiaan yang kongkret dalam kehidupan manusia. Prof Mohammed Arkoun mengatakan bahwa Islam akan meraih kejayaan jika umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran seperti pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapapun.[6] Negara Arab pun sebenarnya sudah belajar akan pemikiran humanisme yaitu sekitar abad ke 10, Istilah yang dipakai adalah Munadharah.
Dr. Kees De Jong mengatakan bahwa peraturan-peraturan pemerintah Indonesia kadang-kadang lebih mengganggu hubungan harmonis antara agama dari pada mendorong hubungan antara agama yang baik. Ini memang kenyataan yang ada di Indonesia. Kita terlalu memberikan perspektif personal agama yang diungkapkan dalam tatanan pemerintah, sehingga perpektif universal tidak ada. Orang cenderung mempunyai motivasi yang bersifat golongan (kepentingan pribadi) daripada kepentingan yang bersifat kemanusiaan (universal). Ini membuat adanya ketidakharmonisan bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Penulis mempertegas kembali bahwa hal ini pula akan menghambat hak asasi manusia yang paling hakiki.

B) Peran Agama, Negara dan masyarakat di Indonesia
Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia bersifat multireligius. Tentunya, masyarakat perlu menempatkan prinsip-prinsip keagamaannya dalam sebuah relasi yang benar antara Negara maupun agama. Setiap agama yang dianut oleh masyarakat pastinya mempunyai nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum. Sejatinya, nilai dan norma tersebut memberi dasar dan orientasi bagi kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk. Namun, bukan berarti Negara Indonesia harus hidup berdasarkan agama, melainkan berdasarkan pada aplikasi praktis agama dalam bidang kemasyarakatan. Bukan ajaran/dogma dari setiap agama, melainkan nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat etis, moral dan hukum tersebut.[7]
Masyarakat Indonesia kadang-kadang masih mempunyai konsepsi pemahaman akan sebuah mitos yang telah membudaya dengan begitu kuat. Tetapi setelah perkembangan yang membuktikan bahwa kekuasaan religius tidak mampu menyejahterakan manusia, maka lahirlah suatu pemikiran yang lebih bersifat humanis. Banyak perkembangan yang maju di dalam masyarakat. Bagaiamana posisi kekuasaan dan masyarakat yang bersifat tradisional di transformasi menjadi yang lebih baik berdasarkan daya pikir dan intelektual manusia. Pemahaman ini tetap saja ada di masyarakat Yogyakarta, bagaimana menganggap Sri sultan Hamengku Buwono adalah titisan Ilahi, tetapi masyarakat tetap mempunyai pemikiran yang tidak hanya bersifat mitos saja, tetapi juga realistis.
Mayarakat yang baru mengganti corak tradisional tersebut dapat berjalan dengan efektif dan baik apabila berpartisipati aktif di tengah kemajemukan yang ada di dalam Negara dan bangsa. Masyarakat yang mempunyai kontribusi dengan keyakinan dan dedikasi yang tulus, serta masyarakat yang partisipatoris dan sejahtera secara umum tidak bergantung pada dogma atau ajaran, tetapi bergantung pada moral dan kebajikan para anggota masyarakat.[8] Ini merupakan suatu kepercayaan baik dari diri masyarakat sendiri yang mempunyai keinginan kuat untuk maju dan lebih baik, tetapi juga kepercayaan yang diberikan kepada penguasa untuk mewujudkan aspirasi rakyat dan masyarakat sekitar, sehingga kepercayaan yang tidak hanya internal, tetapi juga eksternal. Masyarakat atau suatu komunitas diperlukan penghormatan dan penghargaan di dalam penerimaan diri akan suatu kemajemukan bangsa yang berbeda-beda, sehingga aspek-aspek dogmatis atau ajaran yang bersifat eksklusif tidak relevan di dalam kemajemukan ini, tetapi aspek penghayatan akan spiritualitas yang menjadi langkah pijak di dalam menjadi relasi kebersamaan beragama. Oleh karena itu, rasa keterbukaan antara masyarakat menjadi suatu awal yang baik membangun korelasi hidup beragama. Penulis menyadari bahwa masyarakat Indonesia sudah banyak belajar pluralitas sejak dahulu kala. Hal ini terbukti dengan dengan pendirian candi prambanan (hindu) dan di sampingnya terdapat candi yang berasal atau bersumber dari agama budha. Ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia sudah banyak belajar akan pluralitas dan kemajemukan.
Dalam diri Negara Indonesia pun terdapat asas dasar Negara yaitu pancasila yang dapat dijadikan sebagai “pandangan dunia” yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia apapun agamanya. Tentunya, dari sinilah, negara Indonesia perlu melihat kembali dasar negaranya agar dapat saling menghormati dan melindungi ikatan religius warganya. Negara berdasarkan atas pancasila,. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti tidak mengakui suatu agama sebagai agama Negara. Bukan Negara yang percaya kepada Allah, melainkan warga Negara sesuai dengan nilai, norma, etis, moral dan hukum. Sila ini juga mempunyai implikasi yang bersifat sosial, artinya bagaimana masyarakat mampu menghormati setiap pemeluk agama lain.
Jika kita mengingat kembali peristiwa 11 September 2001, bagaimana gedung WTC di New York Amerika Serikat hancur. Hal ini mengakibatkan sebuah wacana tentang pandangan Islam yang negatif. Suatu agama yang lahir dan dipersepsikan sebagai agama yang melahirkan kekerasan dan terorisme.[9] Tetapi apakah ini merupakan suatu perubahan dan paradigma mengenai agama Islam secara menyeluruh? Jika hal ini benar-benar terjadi maka peran utama agama Islam bukan lagi sebagai sumber moral dan pencerahan hidup, melainkan semata sebagai alat legitimasi politik dan sarana mobilisasi masa yang biasanya mengabdi pada kepentingan kekuasaan dan akumulasi kapital.[10] Di sini, agama menjadi sebuah alat yang digunakan oleh penguasa kekuasaan untuk mencapai sebuah kepentingan politik.
Prof. Dr. Olaf Schuman mengatakan bahwa kerukunan beragama bukanlah tujuan akhir, sebab misi agama bukan semata menjalin kerukunan dan perdamaian semata, melainkan untuk untuk memberikan pelayanan pada umat manusia agar tumbuh menjadi hamba-hamba Tuhan yang baik. Perkataan ini menunjukan bahwa otoritas yang Ilahilah yang menjadi dasar manusia berpijak dan menjalin relasi dengan manusia dan dunia. Bagaimana kehidupan manusia yang lebih berwatak dan bermartabat sesuai dengan dasar-dasar kebangsaan? Ideal yang dikatakan oleh Olaf Schman adalah umat beragama mestinya menjadi tiang penyangga persatuan bangsa dan pemberi solusi atas problem-problem sosial yang muncul (problem solver), bukannya malah menjadi komunitas yang justru menimbulkan sumber masalah bangsa (problem maker). Konteks kehidupan bangsa Indonesia tidak akan pernah terlepas dengan pluralitas.
Jika kita mengingat kembali GBHN 1988, pemerintah RI menghimbau agar agama-agama lebih giat menegakan kaidah-kaidah yang menolong mengembangkan segi moral, etika dan spiritual dalam kehidupan bangsa.[11] Hal ini tidak terjadi dalam realita karena negara sendiri seakan-akan menghambat relasi dalam keberagaman bersama agama lain. Seperti misalnya kita mengetahui akhir-akhir ini mengenai UU pornografi dan porno aksi, serta UU pernikahan beda agama. Hal ini mengakibatkan bahwa kebijakan dan peraturan Negara atau penguasa tidak membuat kesejahteraan masyarakat, tetapi perpecahan. Jika kita melihat pemerintahan masyarakat cordoba, maka untuk itu beberapa hal yang dapat digali menurut Eddy Kristiyanto adalah bagaimana di dalam kehidupan manusia, agama dapat memberikan penilaian moral di bidang politik, agama menggunakan upaya-upaya duniawi seraya mempertahankan keutuhan kesaksian injil, agama dan negara harus melayani panggilan manusia, agama dan Negara perlu menciptakan kerjasama yang sehat serta agama menghargai mereka yang memperjuangkan kesejahteraan umum.[12]
Dari seluruh pembahasan di atas, dengan melihat kembali tugas dan kewajiban Negara sebagai Negara pancasila, maka kebijakan dan keputusan atas kasus terpidana mati Amrozi dkk tersebut sudahlah tepat. Bagaimana mungkin Negara dapat menyejahterahkan masyarakat jika oknum atau tokoh yang membuat “resah” di sebagian besar kalangan masyarakat tidak dimusnahkan? Negara Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan hukum. Tentunya, bersikap setimpal dengan kesalahan yang diperbuatnya. Meskipun agama melihat dari sisi kemanusiaannya, pasti juga mempunyai perasaan yang tidak rela adanya seorang manusia yang dihukum mati. Kita juga tidak melepaskan konteks ini dengan hak asasi manusia bahwa manusia membutuhkan adanya hidup yang damai dan tentram. Jika Amrozi tidak dihukum mati maka asumsinya akan muncul kembali bom kesekian kalinya. Namun bukan berarti setelah terpidana matinya Amrozi, Negara Indonesia menjadi aman dan sejahtera. Justru akan banyak misteri yang timbul karena memang adanya kontroversi terhadap kasus eksekusi tersebut. Tidak begitu saja masyarakat menjadi tentram, tetapi masyarakat harus lebih waspada terhadap serangan yang akan muncul. Di sini diperlukan tugas Negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti penjelasan di awal bahwa masyarakat itu multireligius, tentu saja multi ideologi. Maka tidaklah aneh jika asumsi “penindasan” terhadap orang Kristen (Amerika) akan terwujud, namun pemikiran dan ideologi tersebut tidaklah bijaksana.

IV. REFLEKSI TEOLOGIS
Gereja yang menjadi bagian dalam tugas dan tanggung jawab untuk menghadirkan syalom sebaiknya perlu meninjau ulang berdasarkan konteks dimana berada. Prof. Olaf H. Schumann mengatakan bahwa gereja dan orang beriman bersifat relasional dan berhubungan. Oleh karena itu, kita tidak hidup bagi diri sendiri, iman Kristen kita pun tidak berlaku bagi diri sendiri. Pemahaman ini tidak hanya bersifat eksklusif, tetapi bersifat inklusif dan pluralis. Artinya, gereja mengakui bahwa dia hidup di dalam dunia yang beragam dan majemuk. Suatu keadaan yang didasarkan pada pemahaman sosilogis yang berkaitan dengan makhluk sosial yang tidak akan pernah terlepas dengan orang lain.
Banyak permasalahan agama yang berujung kepada kekerasan menjadi sentimen akan pemeluk beragama. Hal ini mempengaruhi implikasi praktis suatu telogi atau instruksi rohani untuk mengatakan akan pembalasan dendam karena adanya kontruksi teologis yang salah dan tidak relevan. Dari Ambon malah diberitakan ucapan pendeta dan imam yang sama-sama mengatakan penangguhan nilai, norma moral dan etika Kristen maupun Islam: yang berlaku sekarang adalah hukum balas dendam.[13] Kontruksi teologis ini mengistilahkan adanya gambaran api berperang melawan api dan tentunya api yang menang dan bukannya rekonsiliasi perdamaian.
Kontruksi teologis yang berkaitan dengan keperbedaan dan kemajemukan berkaitan dengan misi gereja juga perlu ditinjau ulang dalam rangka menciptakan teologi yang komprenhensif bagi masyarakat secara luas. Kita mendengar bahwa satu tahun yang lalu ada acara Kristen di Yogyakarta besar-besaran yang diprotes oleh pihak militan Islam.[14] Bernard Adeney Risakotta mengatakan bahwa persoalannya bukan bagaimana memahami sesuatu yang mutlak benar, melainkan bagaimana kita bertindak (praxis) dalam konteks nyata supaya kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan sekaligus mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Misi gereja selalu dikaitkan dengan injil Matius pasal 28: 19-20 yang berbunyi, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ayat-ayat ini sering disebut sebagai “Amanat Agung” (the Great Commision). Hal ini mengandung sesuatu yang kontradiksi dengan Matius 22:37-39 yang berkaitan dengan hukum terutama dan yang pertama. Oleh karena itu, bagaimana misi tersebut dilakukan dalam konteks yang tepat yang plural dalam kemajemukan di Indonesia. Kita harus mengetahui konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi di Indonesia dan bukannya konteks Palestina pada abad pertama, karena kita sering kali mengedapankan dogma yang bisa membuat terbenturnya dengan kondisi masyarakat lainnya. Oleh Karena itu, jangan merasa kaget apabila selama berabad-abad terjadi berbagai persaingan, ketegangan, diskriminasi, penindasan, perang saudara dan pembantaian yang terkait dengan persoalan agama.
Metode-metode misi gereja diperlukan suatu pendekatan yang berkaitan dengan aspek kontekstual masyarakat. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih mengatakan bahwa kita perlu berteologi secara kontekstual di dalam membangun relasi antara agama-agama, sehingga tercipta keharmonisan. Banyak tafsiran alkitab yang kadang-kadang asal comot ayat dan tidak memperhatikan dalam kontek saat itu. Kita berteologi dalam masa kini dengan memperhatikan konteks memang di perlukan, tetapi konteks alkitab jaman dulu juga harus diperhatikan, sehingga ayat tersebut mempunyai dasar biblis yang kuat dan tidak hanya asal dicomot. Kita sering mendengar Yohanes 14 : 6 yang mengatakan bahwa Agama Kristen lebih unggul dengan agama lain. Ayat tersebut berbunyi “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” Konteks tersebut sebenarnya tidak berbicara mengenai misi, tetapi berbicara akan suatu pergumulan konteks sosial dan politik bahwa sistem penguasa yang kuat membuat masyarakat tidak bisa memilih kehidupan yang benar, sehingga Yesus mengatakan ayat tersebut. Bagaimana orang-orang miskin dan tidak berdaya menjadi bergumul akan pilihan kehidupan yang tidak bisa apa-apa karena penindasan dari golongan penguasa. Sejatinya, bahwa gereja mempunyai misi yang menghadirkan syalom yang sesungguhnya dan bukannya perpecahan dan disintegrasi bangsa.
Kita dapat belajar dari masyarakat Cordoba bahwa seorang pemimpin mampu memplokamirkan diri dan berjanji untuk menyejahterakan masyarakat, padahal corak pemerintahannya adalah teokrasi, sedangkan Indonesia yang bersorak sistem republik dan berasaskan Pancasila sangat sulit untuk menciptakan keharmonisan. Terkadang pemimpin masih memikirkan kepentingan pribadi.
Sejatinya, gereja mempunyai misi menghadirkan syalom dan bukannya perpecahan maupun disintegrasi bangsa. Prof. Emmanuel Gerrit Singgih memberikan suatu konsep yang diambil dari teolog Katolik John S. Dunne yaitu “passing over and coming back”.[15] Bagaimana kita terbuka terhadap agama lain dan berupaya untuk belajar juga pada agama lain sehingga ada suatu koneksi dan korelasi antara keduanya, serta dalam konteks tidak hanya wacana, tetapi ada suatu penghayatan spiritualitas yang memampukan manusia untuk hidup berdampingan dengan agama lain. Untuk itu, sebagai orang Kristen diperlukan sebuah keterbukaan untuk mau menerima kritik dan tidak hanya eksklusif dimana pun berada.
V. PENUTUP
Akhirnya, kekuatiran terhadap asumsi negatif akibat terjadinya eksekusi mati Amrozi dkk perlulah ditipiskan. Inilah, sebuah tawaran bagi agama, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam menuju kesejahteraan dan kedamaian yang sejati.
DAFTAR PUSTAKA

De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008.
Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004
Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
[1] Siaran Metro TV pada tanggal 26 Oktober 2008 pukul 18.00
[2] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta
[3] Aliran yang menganggap Yesus sebagai manusia.
[4] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 6
[5] Ibid Hal 7
[6] De Jong, Kees, Al-Andalus di Bawah Kekuasaan Daulah Umayyah di Cordoba (756-1031): Suatu masyarakat Pluralistik yang Beradab, dalam naskah-naskah Abrahamic Religions, Yogyakarta Hal 21
[7] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 200 hal 72-82
[8] Ibid hal 53
[9] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal XII
[10] Ibid Hal xiii
[11] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004 hal 22
[12] Kristiyanto, Eddy. Sakramen Politik : Mempertanggungjawabkan Memoria. Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2008. hlm.141-142
[13] Schumann, Olaf H., Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2004 hal 126
[14] Acara KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di sertai dengan kuasa penyembuhan itu di adakan di Stadion Mandala Krida Yogyakarta dengan pendeta yang berasal dari Kanada.
[15] Singgih, Emmanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 hal 157

1 komentar:

konrenk mengatakan...

When you see Violin. what do think abaut it? may you will say.. beatifully, amazing.. that right!

sebuah perjalann hidup bisa dilihat dalam alat musik. tidak ada kesempurnaaan pada alat musik, begitu juga dgn hidp. musik mempunyai nada, interfal, dll. semuanya terbats menurut ukurn musik itu sendri. tetapi apkh kita sebagai manusia sudh memknai sebuah keterbatasan hidup. bukan kesempurnaan tetapi menuju pada sebuah hidup yag sempurna. apakh hidup yg sempurna adalah kesejahteraan dan kedamaian? mari berfikir sejenak dalam dunia.

tidak akn pernh sampai pada kesejhtraan dan kedamain dalm dunia ini. kita hanya akn menuju..andaikata kita sudh merasakn itu bukn berarti sudh sampai tapi itu sedikt harapan bhwa kesempurnaan tiu ada.